1 / 3
belajar satu
2 / 3
belajar 2
3 / 3
Caption Three

Rabu, 05 April 2017

Antara Manusia dan Mesin: Refleksi atas Teknologi dalam Filsafat Kontemporer

Selalu ada magi dalam teknologi. Ketika baru-baru ini sekelompok ilmuwan Jepang memperkenalkan sebuah komputer yang didesain dengan tangan artifisial untuk mempertemukan dua orang yang berjauhan dalam sebuah “jabat tangan digital”, dan diciptakan dengan sensasi kehangatan sebagaimana tangan biologis manusia, ada yang terkejut: impian tentang Artifical Intelligence itu sudah mendekati kenyataan. Ada pula yang bermimpi: sebentar lagi, manusia dan robot tak akan ada bedanya, dan peradaban baru akan lahir.


Magi itu yang membuat filsafat menyimpan ketertarikan laten terhadap “yang teknologis”. Dalam sejarah filsafat, alusi tentang “yang teknologis” itu telah hadir sejak Plato, dengan penyebutannya tentang kelas “para tukang” (tektón) dalam polis Yunani kuno,[1] hingga Gilbert Simondon, dalam Du mode d’existence des objets techniques.[2] Tetapi, kita akan keliru bila menduga refleksi filsafat tentang teknologi memiliki alur yang segaris dari dulu sampai kini.

Meski minat filsafat pada teknologi telah muncul begitu tua, pembicaraan tentangnya tidak berlangsung secara linear dan kontinu. Sejarah filsafat menunjukkan, begitu banyak keterputusan epistemologis yang terjadi dalam diskursus filsafat tentang teknologi—keterputusan-keterputusan yang menunjukkan bahwa keterlibatan keduanya tidak berjalan progresif dan dialektis (dalam pengertian Hegelian), bergerak dari satu titik ke titik lain yang lebih maju dan menghasilkan sintesis yang melampaui capaian sebelumnya, tetapi berjalan secara diskontinu: dalam titik di mana ia tampak progresif, ia kembali mundur (regresif) ke masa lalu; atau sebaliknya, dalam titik di mana ia tampak regresif, ia sedang melakukan lompatan jauh ke depan. Hal ini terilustrasikan dengan baik pada kasus Heidegger, yang dengan kembali mundur ke Yunani kuno memberikan pendasaran bagi refleksi baru tentang teknologi pasca-Einstein dan Heisenberg.

Gerak maju-mundur itu antara lain disebabkan oleh perbedaan konsepsi sejarah dari filsafat dan teknologi. Sejarah filsafat tidak memiliki struktur yang meniscayakan dirinya untuk selalu progresif, karena filsafat selalu memahami dirinya sebagai gerak kembali ke dasar, yang berarti kembali ke tradisi yang mendahuluinya untuk melakukan pendasaran baru atasnya. Sementara, sejarah teknologi dilatari oleh sejarah sains, yang bersifat progresif dan merupakan akumulasi dari capaian-capaian sebelumnya. Baru belakangan, ketika sains mulai lebih membuka diri pada kritik-kritik filsafat, progresivitas itu tidak lagi menjadi standar absolut.

Ketidaksinkronan konsepsi sejarah itu, pada level terdalam, tetap menjadi unsur yang membentuk keterputusan epistemologis. Seseorang yang mempelajari dengan tekun sejarah filsafat akan menemukan bahwa kehadiran teknologi sebagai suatu tema tersendiri tidaklah permanen; ia marjinal selama beberapa abad lamanya, tersubordinasi di bawah metafisika, moral, teologi, atau antropologi, tetapi muncul diam-diam melalui sains, dan baru seabad terakhir, di dalam filsafat kontemporer yang makin mengakui pertautannya yang tak terpisahkan dengan sains, teknologi mulai mendapat tempat khusus. Ada suatu diskriminasi teoretis dalam filsafat terhadap teknologi, yang muncul dari pandangan minor dan sekunder atas “teknik” sebagai unsur penting yang membentuk kehidupan; pandangan yang, sebagian besar, dibentuk atas ketakutan akan dominasi “teknik” atas kerja kontemplatif yang menjadi ciri khas filsafat.

Karena itu, jika filsafat, seperti ditulis di atas, “menyimpan ketertarikan laten terhadap ‘yang teknologis’”, maka kita harus mengungkap cara bagaimana yang laten itu muncul dan menampakkan diri ke permukaan, dan bagaimana ia mengubah perlakuan filsafat terhadap teknologi dari pemosisiannya dari marjinal menjadi sentral. Dengan demikian, kita akan mengetahui bagaimana perbedaan-perbedaan yang memisahkan filsafat dari teknologi diatasi dan dikonfigurasi ulang. Dalam hal ini, kita patut bertanya: dari problem apakah kita dapat memahami hubungan-hubungan baru antara filsafat dan teknologi?

Filsafat dan teknologi dipertautkan oleh hubungan yang terbentuk antara manusia dan mesin. Teknologi tidak selamanya identik secara historis dengan mesin, tetapi ia berhubungan dengan alat-alat, yang merupakan basis material bagi terbentuknya mesin. Berbicara tentang mesin, maka kita akan berbicara tentang manusia, karena mesin pada awalnya diciptakan oleh manusia. Manusia menciptakan mesin dan hidup bersama mesin. Hal ini menciptakan suatu relasi yang terbuka untuk dikaji. Dengan mencoba memetakannya dari filsafat kontemporer, esai ini akan melihat pertautan antara filsafat dan teknologi melalui suatu problem ontologis manusia dan mesin, dan bagaimana para filsuf kontemporer memberikan tanggapannya atas persoalan ini.

Heidegger: Ketakterpisahan Dasein dari Teknologi
Bila filsafat hari ini dapat terbuka kepada teknologi, hal itu tidak lepas dari jasa Martin Heidegger melalui esainya, The Question Concerning Technology (1949).[3] Dalam esai itu, Heidegger memulai suatu pendekatan baru terhadap cara filsafat memandang teknologi.

Untuk memahami signifikansi Heidegger, kita perlu memahami dua pandangan yang hendak diatasi oleh Heidegger. Terdapat dua konsepsi umum dalam filsafat mengenai teknologi: pertama, konsepsi instrumentalis, pandangan yang meletakkan teknologi sebagai sarana, instrumentum, bagi pencapaian suatu tujuan tertentu; dan kedua, konsepsi antropologis, yang melihat teknologi sebagai suatu aktivitas manusia.[4] Konsepsi pertama memperlakukan teknologi sebagai medium bagi suatu tujuan yang dipandang lebih tinggi, sehingga teknologi tidak lebih dari titik transisi menuju suatu telos tertentu—konsepsi ini, karenanya, bersifat teleologis. Sedangkan konsepsi kedua memperlakukan teknologi sebagai bagian dari aktivitas sehari-hari manusia, sehingga teknologi dianggap inheren dalam diri manusia—konsepsi ini, karenanya, bersifat antroposentris. Heidegger mengkritik dua pandangan ini karena ketidakmemadaian keduanya memahami apa yang disebutnya “esensi teknologi”.

Konsepsi instrumentalis, menurut Heidegger, menganggap teknologi sekadar pelengkap dari kehidupan manusia. Diasumsikan, manusia memanfaatkan teknologi untuk mempermudah dan mempercepatnya mencapai tujuan tertentu. Dengan demikian, bagi konsepsi ini, manusia sebenarnya tidak terkait secara intrinsik dengan teknologi; tanpa teknologi, manusia dapat mencapai tujuannya, hanya saja tujuan tersebut lebih cepat bila dibantu oleh teknologi. Teknologi merupakan pelayan bagi kebutuhan manusia, tetapi andaikan tanpa pelayanan yang diberikan teknologi, kebutuhan itu tetap tercapai.

Pandangan ini, bagi Heidegger, kurang tepat memposisikan teknologi, karena mengasumsikan bahwa teknologi merupakan sesuatu yang eksternal dari manusia. Asumsi metafisis ini menempatkan teknologi sebagai sesuatu yang terpisah secara ontologis dari kehidupan manusia. Suatu asumsi yang mengandung pengingkaran atas keimplisitan teknologi dalam setiap gerak-gerik kehidupan manusia.

Untuk memahami lebih khusus pandangan Heidegger tentang keimplisitan teknologi ini, kita perlu menyinggung sejenak teks Heidegger yang lain, Being and Time.[5] Dalam teks tersebut, Heidegger menggunakan istilah Dasein untuk mengganti istilah umum “manusia” (human being, die Menschheit). Penggantian ini dilakukan untuk memperlihatkan modus ontologis dari ‘ada’ manusia, yang terlupakan ketika kita terbiasa menyebut “manusia”. Dasein berarti “ada-di-sana” (Da-sein), menunjukkan bahwa ia ada dalam keadaan terlempar ke dunia, dan keterlemparannya mencirikan eksistensinya. Keterlemparan ini terkait dengan faktisitas Dasein, keniscayaan keterlemparan itu sebagai satu-satunya fakta yang tidak dapat ditolak dari eksistensinya.

Being and Time mengangkat konfigurasi relasi-relasi Dasein dengan Ada (being), di satu sisi, dan Ada Dasein (the being of Dasein) dan Ada Mengada-Mengada lain selain Dasein (the being of beings). Relasi ini dipetakan Heidegger berada dalam dua level: ontologis dan ontis. Pada level ontologis, Dasein menemukan dirinya menanyakan makna Ada dari keberadaannya sebagai Dasein dan makna Ada dari Mengada-Mengada yang lain. Sementara, pada level ontis, Dasein menemukan dirinya hidup begitu saja dengan mengada-mengada itu. Level ontologis menggambarkan dimensi fenomenologis, ketika Dasein bertanya tentang ada, sementara level ontis menggambarkan dimensi keseharian dan praktis dari Dasein yang memang sudah sejak awal berada dalam relasinya dengan mengada-mengada tersebut. Dalam kaitannya dengan teknologi, kita hanya akan memfokuskan pada relasi antara Dasein dan Mengada-Mengada selain dirinya.

Ada tiga Mengada yang berelasi dengan Dasein dalam kehidupannya sehari-hari: Zuhandenes (“alat-alat”), Vorhandenes (“benda-benda yang bukan alat”), dan Mitdasein (“sesama manusia” atau “orang-orang lain”).[6] Cara berada ketiganya berbeda: alat-alat memiliki cara berada yang diistilahkan oleh Heidegger sebagai ada “untuk-sesuatu” (Um-zu), karena alat-alat ini dipakai sehari-hari untuk digunakan untuk sesuatu yang lain (“gunting untuk memotong”, misalnya).

Heidegger menyebut alat dengan istilah baru yang belum pernah ditemukan dalam kosakata Jerman, yaitu Zuhandenes, gabungan dari kata Zu- dan handenes, yang berarti “untuk-tangan”, atau “siap-di-tangan”. Istilah ini dibuat untuk menggambarkan bahwa alat tidak ada pada dirinya; alat menjadi alat karena ia digunakan oleh Dasein; alat menjadi alat karena ia di-tangani oleh Dasein. Sepotong besi tidak menjadi alat, kecuali seseorang memakainya untuk mencangkul tanah, sehingga besi itu telah berubah status ontologis menjadi alat, yaitu cangkul. Karena itu, Zuhandenes dibedakan oleh Heidegger dari Zeug, yang merupakan kosakata Jerman untuk benda-benda secara umum, dan dari Werkzeug (“alat kerja”), yang masih terlalu umum untuk menyebut cara atau modus berada Zuhandenes.

Dalam konteks teknologi, kita melihat, ada dua Mengada yang sementara relevan dikaji di sini, yaitu Zuhandenes dan Vorhandenes. Mitdasein dalam konteks teknologi tidak berarti sepenuhnya irrelevan, karena di era digital dewasa ini, teknologi telah menyentuh dan memfasilitasi interaksi antarmanusia, tetapi Mitdasein pada dirinya bukan objek teknologis. Kita mendapati, selain Zuhandenes, terdapat Vorhandenes, yaitu benda-benda yang bukan alat. Secara harfiah, Vorhandenes berarti “di-depan-tangan”, yaitu bahwa benda-benda itu ada di seberang manusia, tidak terpakai, rusak, tidak berguna, atau belum digunakan.

Keimplisitan teknologi terlihat dari cara Dasein berelasi dengan dua Mengada ini. Secara intrinsik, dua Mengada ini telah memiliki cara beradanya (mode of being) masing-masing, yaitu ada “untuk-sesuatu” (Um-zu) pada Zuhandenes dan ada “begitu saja” (Vorhandenheit) atau “tidak-siap-di-tangan” (Unzuhandenes) pada Vorhandenes. Sebelum menjadi Zuhandenes, suatu benda tergolong Vorhandenes. Tetapi Vorhandenes, katakanlah sebuah kayu yang menganggur di pinggir jalan, otomatis menjadi Zuhandenes begitu kayu tersebut dipakai untuk membuat pintu. Kedua cara berada yang berbeda-beda ini, namun demikian, berelasi dengan Dasein dan melahirkan suatu sikap subjektif yang berbeda-beda. Menurut Heidegger, sikap Dasein terhadap Zuhandenes adalah mengurus atau menangani (Besorgen), sementara terhadap Vorhandenes adalah tanpa minat menangani, atau membiarkan begitu saja.

Kita melihat, bahwa perubahan Zuhandenes menjadi Vorhandenes (“sebuah cangkul menjadi cangkul yang rusak dan tidak terpakai”), atau perubahan Vorhandenes menjadi Zuhandenes (“sebuah kayu menganggur di gudang menjadi cangkul”) bergantung pada penyikapan Dasein. Dalam hal ini, meski keberadaan benda-benda itu objektif, cara berada mereka berubah sesuai dengan perubahan sikap Dasein atasnya.

Itu dari sudut benda-benda itu sendiri. Dari sudut Dasein, jika relasi ini dibalik, kita akan mendapatkan logika yang sama: bahwa relasi Dasein berubah sesuai dengan perubahan cara berada benda-benda itu: mengurus atau menangani, ketika objeknya adalah Zuhandenes, atau membiarkan ketika objeknya Vorhandenes. Hal itu berarti bahwa Dasein, sejak awal, telah berurusan dengan benda-benda, entah benda-benda itu terpakai atau tidak, dan dengan demikian telah terlibat dengan elemen mendasar dari teknologi, yaitu keberadaan objek-objek teknologis, terlepas ia menggunakannya (ketika objek itu dipandang bermanfaat baginya) atau tidak lagi menggunakannya (ketika objek itu dipandang tidak lagi bermanfaat).

Maka, tidak seperti dibayangkan oleh konsepsi instrumentalis, teknologi bukan sekadar sarana untuk mencapai tujuan tertentu, di mana tanpa sarana tersebut, tujuan itu tetap tercapai; sebaliknya, Heidegger secara tersirat memandang bahwa secara ontologis, sebelum teknologi menjadi sarana atau tidak, ia telah terkait dengan Dasein, sehingga teknologi tidak dapat dianggap eksternal dari Dasein.

Sekilas, Heidegger tampak mendukung konsepsi instrumentalis, dengan menyatakan bahwa Zuhandenes ada “untuk-sesuatu”. Alat-alat tidak ada pada dirinya untuk dirinya, tetapi ada untuk yang lain daripada dirinya. Terkesan bahwa Heidegger ingin mengatakan bahwa alat-alat ada untuk diperalat. Bukankah dengan demikian, Heidegger menganut asumsi teleologis, bahwa alat ada untuk suatu tujuan? Di sini terletak perbedaan Heidegger, yang terlihat samar jika kita tidak cermat membandingkannya dengan konsepsi instrumentalis.

Heidegger mengakui bahwa alat digunakan “untuk-sesuatu” oleh Dasein. Dengan itu alat berfungsi semestinya sebagai alat. “Sesuatu” itu memang tujuan, tetapi tujuan itu bukan ditetapkan secara absolut oleh Dasein, tetapi merupakan fungsi intrinsik dari alat itu. Sebilah pisau telah memiliki fungsi intrinsik untuk “memotong”, meski tidak digunakan Dasein untuk memotong. Dengan demikian, pisau itu memiliki potensi untuk “memotong”, walaupun tujuan itu tidak dimaksimalkan oleh Dasein (misal: ketika pisau itu hanya menjadi aksesori). Bahkan meski pisau itu nantinya menjadi aksesori, fungsi aksesori itu telah implisit dalam “ke-untuk-sesuatu-an” alat itu, yaitu bahwa pisau itu ada “untuk-aksesori”.

Karena terdapat fungsi intrinsik yang melekat pada sang alat, maka Dasein dapat menggunakannya, tetapi tidak dapat memperalatnya. Menggunakan dan memperalat adalah dua hal yang berbeda. Dalam menggunakan alat, Dasein mengeluarkan suatu potensi yang dimungkinkan oleh alat itu, tetapi tidak mengurasnya sampai habis. Sementara, dalam memperalat alat, Dasein menguras habis totalitas fungsi dari alat itu sehingga tidak tersisa apa pun dari alat itu kecuali sekadar menjadi pelayan bagi kemauan Dasein. Perbedaan ini membawa implikasi pada sikap Dasein: dalam menggunakan alat, Dasein mengurus dan menangani; dalam memperalat, Dasein memanfaatkan dan membuang.

Konsepsi instrumentalis, dengan demikian, terkait dengan suatu modus manipulasi atas alat; alat diperalat, maka ia dimanipulasi. Manipulasi tidak berarti menipu, tetapi memanfaatkan alat semata-mata untuk menuruti kemauan manusia, tanpa menyadari cara berada alat. Ia, seperti disinggung di atas, adalah pengurasan habis-habisan fungsi alat secara sepihak dari sudut pandang subjek. Modus manipulasi ini terkait dengan modus lain yang disebut Heidegger sebagai “keinginan menguasai” (Meistern-wollen) dan “kontrol manusia” (Herrschaft des Menschen);[7] dengan kata lain, suatu bias dari konsepsi antropologis yang memberikan wewenang pada manusia untuk mengendalikan alat.

Hal ini merupakan alasan mengapa Heidegger, walaupun mengkritik konsepsi instrumentalis, juga mengkritik konsepsi antropologis tentang teknologi. Cara berpikir ini dapat dirunut sebagai berikut.

Konsepsi antropologis, seperti ditulis di atas, “melihat teknologi sebagai suatu aktivitas manusia”. Teknologi dianggap bagian dari aktivitas sehari-hari manusia, sehingga teknologi dianggap inheren dalam diri manusia. Kata manusia perlu digarisbawahi di sini: dalam konsepsi ini, manusia mendapat penekanan sentral. Dengan demikian, teknologi dilihat dalam kemelekatannya dengan manusia.

Pertanyaannya: bagaimana Heidegger mengkritik pandangan ini, sementara ia mengatakan bahwa teknologi tidak terpisahkan dari Dasein?

Untuk memahami lebih cermat posisi Heidegger terhadap konsepsi antropologis, kita dapat membandingkannya dengan konsepsi instrumentalis. Secara umum, konsepsi antropologis lebih “dekat” dengan pemikiran Heidegger daripada konsepsi instrumentalis. Jika konsepsi instrumentalis melihat alat sebagai sesuatu yang eksternal dari manusia, konsepsi antropologis melihat alat, sebaliknya, inheren dalam aktivitas manusia. Pada titik ini, Heidegger tampak menyetujui konsepsi antropologis, karena diasumsikan, jika ia menolak teknologi sebagai sesuatu yang eksternal, ia pasti mengakui teknologi sebagai sesuatu yang internal.

Di atas, telah terlihat bagaimana Dasein tidak terpisahkan dari teknologi, yang menyertai gerak-gerik kehidupannya. Teknologi juga tidak terpisahkan dari Dasein, karena cara beradanya terkait dengan sikap dan pemaknaan Dasein atasnya. Tetapi, apakah dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa teknologi merupakan bagian dari aktivitas manusia?

Konsepsi antropologis mengatakan: ya. Hal ini terilustrasikan dengan teknologi konstruksi bagi seorang teknisi sipil. Seorang teknisi sipil bekerja dengan alat-alat yang ia bawa untuk membangun sebuah gedung. Dengan alat-alat itu, aktivitasnya sebagai teknisi sipil bangunan terbantu. Tetapi, alat-alat itu bukan hanya membantunya mencapai tujuannya, yaitu membangun gedung (konsepsi instrumentalis), tetapi bahkan telah menjadi bagian dari aktivitasnya; tanpa alat-alat konstruksi itu, ia tidak lagi berprofesi sebagai teknisi sipil. Dengan begitu, teknologi konstruksi bukan saja alat-alat untuk membantu aktivitas; ia adalah aktivitas itu sendiri dari sosok teknisi sipil ini yang tanpanya ia tidak lagi menjadi teknisi sipil.

Ilustrasi ini sekilas memberi gambaran yang meyakinkan tentang kemenyatuan teknologi dengan aktivitas manusia. Tetapi, persis di dalam gambaran yang seolah tanpa masalah itu, terselip suatu problem ontologis, yaitu asumsi bahwa teknologi identik dengan manusia itu sendiri; bahwa teknologi pada dasarnya manusiawi sehingga realitas teknik an sich, pada dirinya, sama dengan realitas manusia.

Asumsi ini mengaburkan dan menutupi dua hal, yang bagi Heidegger merupakan penyebab terlupakannya “esensi teknologi” dari refleksi filsafat. Pertama-tama, asumsi ini mengaburkan suatu bias “kontrol” manusia. Ketika dikatakan bahwa teknologi dan manusia adalah satu dan identik satu sama lain, maka tidak terlacak lagi dominasi diam-diam manusia terhadap teknologi, karena diandaikan bahwa keduanya telah integral satu sama lain. Integralitas ini menjadikan manusia seolah “bebas nilai” dari hubungannya dengan teknologi; sementara bukan tidak mungkin, bahwa dalam hubungan yang organik itu, ia memanipulasi teknologi demi tujuan-tujuannya sendiri. Karena itu, asumsi ini dapat menjadi kedok ilusif bagi dominasi manusia atas teknologi, yang diselubungi dengan kesatuan yang ditetapkan antara teknologi dan manusia.

Tetapi, seandainya kontrol atau dominasi itu tidak terjadi, pada kenyataannya asumsi ini telah mengaburkan satu hal yang mendasar, yaitu “perbedaan ontologis” (ontological difference) antara Dasein dan teknologi.

Terdapat perbedaan antara Ada dan Mengada, yang tak tereduksikan. Tesis “perbedaan ontologis” ini fundamental dalam analisis Heidegger dalam Being and Time. Tetapi, kita tidak akan membicarakan perbedaan Ada dan Mengada ini, tetapi perbedaan antara Mengada Dasein dan Mengada non-Dasein.

Dasein berbeda dari Mengada-Mengada lainnya karena satu ciri khas yang diidentifikasi Heidegger padanya, yaitu hubungannya yang khusus dengan Ada karena kemungkinannya untuk bertanya tentang Ada. Hanya Dasein yang memiliki akses untuk bertanya tentang Ada—hal ini yang membedakan Dasein dari Mengada-Mengada lain yang tidak memiliki kemampuan untuk bertanya tentang Ada (Zuhandenes dan Vorhandenes) atau tetap tenggelam dalam kelupaannya akan Ada (das Man, kerumunan orang-orang). Karena itu, dalam hubungannya dengan teknologi, Dasein berbeda dari dua Mengada yang merupakan basis material dari teknologi: Zuhandenes dan Vorhandenes. Perbedaan ontologis ini yang memungkinkan Dasein dan dua Mengada ini memiliki relasi dan cara berada yang berbeda.

Teknologi tidak terpisahkan dari Dasein, tetapi teknologi bukan bagian dari Dasein. Teknologi tidak dapat dianggap eksternal dari Dasein, tetapi teknologi bukan sesuatu yang internal dalam Dasein itu sendiri. Lalu, apa persisnya teknologi? Di titik ini Heidegger membukakan jalan bagi reformulasi teknologi dalam terminologi baru: realitas mesin.
 Pasca-Heidegger: Derrida dan Deleuze-Guattari tentang “Mesin”
Dalam esainya, The Question Concerning Technology, Heidegger menjawab pertanyaan “apa itu teknologi?” dengan satu istilah: esensi teknologi adalah “Gestell”.[8] Apa itu Gestell?

Kita tidak dapat menerjemahkan secara langsung istilah itu dalam esai singkat ini, tetapi untuk sementara, kita dapat bersetuju dengan terjemahan para penerjemah Heidegger, yaitu Enframing, “Pembingkaian”. Gestell adalah “Pembingkaian”. Untuk sementara, kita tidak akan terlalu memasuki analisis Heidegger yang sangat detail tentang asal-usul terminologi yang ia ciptakan ini.

“Esensi teknologi” adalah Pembingkaian, dalam arti bahwa teknologi meletakkan sehimpunan hal-hal yang berbeda untuk dibingkai dalam suatu susunan atau kerangka tertentu (setting-in-order, Bestellen). Dalam arti ini, Gestell dekat dengan Gemüt (“disposisi”), yaitu memajang, menata, meletakkan, dan mengatur hal-ihwal ke dalam suatu himpunan untuk diperlihatkan, dipertontonkan, didemonstrasikan, difungsikan, dan seterusnya. Di dalam Gestell, dengan demikian, terdapat suatu “himpunan” yang ditata sedemikian rupa, di-setel, di-set. Untuk apa? Untuk memproduksi (Her-stellen) dan menyajikan (Dar-stellen) sesuatu.[9] Pembingkaian itu, dengan kata lain, merupakan suatu kerja mempresentasikan sesuatu melalui proses-proses tertentu yang meletakkan hal-ihwal ke dalam suatu kerangka atau susunan tertentu.

Di sini kita menemukan pengertian teknologi, yang lebih kompleks daripada konsepsi alat-alat yang telah diuraikan Heidegger dalam Being and Time. Dengan memahami teknologi sebagai Gestell, Heidegger menggarisbawahi bahwa teknologi merupakan suatu desain struktural, yang mentransformasikan, mengubah, dan mempercanggih fungsi alat ke dalam suatu fungsi yang lebih abstrak, yaitu Pembingkaian. Dalam kerangka Pembingkaian ini, maka tidak memadai lagi berbicara semata-mata tentang alat; kita mesti berbicara, lebih jauh, tentang suatu realitas struktural yang lain, yang kita sebut di sini dengan mesin.

Heidegger tidak membincang mesin, tetapi refleksinya membuka cakrawala pemikiran tentang mesin pada filsafat kontemporer, sebagaimana dikonsepsikan pasca-Heidegger oleh Derrida dan Deleuze-Guattari.

Bagaimana Derrida dan Deleuze-Guattari berpikir tentang mesin? Refleksi ketiga pemikir ini tidak terpisahkan dari tesis Heideggerian tentang ketidakmungkinan melepaskan teknologi dari Dasein, di satu sisi, tetapi juga ketidakmungkinan mengidentikkan teknologi dengan Dasein, di sisi lain. Dalam arti ini, baik Derrida maupun Deleuze-Guattari memikirkan teknologi tidak lagi secara dikotomis (internal/eksternal) terhadap manusia. Di sini teknologi tidak dimaknai lagi secara antropologis. Dengan memunculkan mesin, mereka melihat teknologi dalam bentuk yang terus-menerus menggeser posisi manusia, mempertanyakan, dan meradikalisasi “wajah lain” teknologi yang melahirkan krisis pada subjektivitas manusia.

Baik Derrida maupun Deleuze-Guattari memahami teknologi secara struktural, yaitu sebagai mesin. Mesin adalah wujud dari Pembingkaian, dari Gestell, dalam bentuknya yang mutakhir. Bila Heidegger masih berpikir tentang Pembingkaian yang dilakukan secara manual, melibatkan subjek manusia dan dilakukan secara intensional oleh subjek tersebut, terdapat suatu produk Pembingkaian yang sama sekali lain yang tidak terbayangkan oleh Heidegger. Itulah mesin.

Sebelum mengikuti alur pemikiran Derrida dan Deleuze-Guattari, Gilbert Simondon memberikan suatu pengertian padat tentang mesin. Mesin, menurut Simondon, adalah kombinasi antara automaton dan indeterminasi (ketakmenentuan).[10]

Setiap mesin memiliki sifat otomatis yang membuatnya bergerak sendiri, mengikuti prosedur dan setting yang telah diatur. Kemampuan bergerak sendiri ini disebut automaton, yang memungkinkan mesin bekerja sendiri (auto-maton), tanpa membutuhkan lagi subjek di luar dirinya dalam proses menggerakkannya. Sebuah jam telah otomatis nyala (on), ketika dipasang sebuah baterai ke dalamnya. Yang tampak, jam akan bergerak dari kiri ke kanan sesuai putaran setting yang dibuat oleh produsennya, tetapi di balik jarum menit dan detik yang terus berputar, terdapat ratusan tuas dan silinder kecil yang terus-menerus berputar dan saling bersinggungan untuk menggerakkan jarum menit dan detik yang terpampang di bagian terluar jam. Gerakan tuas-tuas, silinder, serta berbagai unsur kecil lainnya berlangsung secara otomatis, sehingga tidak membutuhkan peran subjek.

Seorang teknisi jam dapat membuat jam, tetapi begitu jam itu telah menjadi sebuah mesin, ia memiliki automaton yang membuatnya lepas dari peran teknisi. Karena itu, muncul relasi yang ganjil pada subjek dan mesin pada momen ini. Mesin diciptakan subjek, tetapi begitu ia telah otomatis, ia terlepas dari subjek.

Independensi mesin dari subjek (manusia, atau Dasein—meski ketiga istilah ini tidak memiliki pengertian yang sama) merupakan efek dari Gestell yang memungkinkan mesin itu eksis. Automaton, dalam kasus tertentu, lalu menjadi automatisme—inilah fase ketika mesin benar-benar terlepas dari subjek dan berada di luar kontrolnya.

Impian terbesar teknologi adalah menciptakan suatu mesin dengan automatisme absolut. Itulah era ketika mesin berubah wujud menjadi robot, yaitu makhluk tiga dimensi yang memerankan diri sebagai “manusia” dalam bentuknya yang supercanggih. Robot adalah mesin dengan automatisme paling sempurna yang dibayangkan manusia. Dalam realitas robotik, mesin bukan saja lepas dari subjek, tetapi bahkan menggantikan subjek.

Kita tidak akan masuk pada realitas robotik, yang masih menjadi impian teknologi masa depan. Terlepas dari kecemasan bahwa manusia akan musnah digantikan oleh robot-robot (suatu kemungkinan yang dapat saja terjadi sebagaimana dalam film-film Holywood), apa yang menarik dicatat adalah kritik Simondon pada automatisme. Simondon menulis, automatisme adalah tingkat terendah dari kesempurnaan sebuah mesin. Ini disebabkan karena, “untuk membuat sebuah mesin otomatis, kita harus mengorbankan kemungkinan-kemungkinan pemfungsian, penggunaan-penggunaan yang mungkin”.[11]

Semakin otomatis sebuah mesin, semakin ia rigid dan pasti. Sementara, makin tinggi rigiditas mesin, fleksibilitasnya makin rendah. Rigiditas menghilangkan kemungkinan-kemungkinan mesin untuk menyesuaikan diri dengan rangsangan luar yang berubah. Sebuah robot yang seratus persen otomatis, memiliki kemampuan dan kecerdasan yang lebih terbatas dibanding robot yang tidak sepenuhnya otomatis. Karena itu, bagi Simondon, mesin mesti memiliki struktur yang terbuka, yaitu kemungkinannya untuk menjadi tidak pasti dan tidak menentu: indeterminasi.

Kombinasi dari automaton dan indeterminasi ini yang memberikan mesin suatu struktur yang memungkinkannya untuk selalu lepas dari kontrol subjek, dan memberinya suatu kemampuan terus-menerus untuk mengubah dan mentransformasikan diri ke level yang tak terduga.

Dalam konteks independensi mesin dan ketakterdugaannya, Deleuze-Guattari membuat distingsi antara “mesin abstrak” (abstract machine) dan “himpunan” (assemblage).[12] “Himpunan” merujuk pada mesin yang telah jadi, yang di-setel sedemikian rupa untuk menjalankan sebuah fungsi. Dalam hal ini, ia merupakan dimensi aktual dari realitas masinik. Tetapi, “himpunan” menjadi aktual dan mewujud karena terdapat suatu “mesin abstrak” yang memungkinkan himpunan itu dapat dipikirkan dan direalisasikan. “Mesin abstrak”, dalam hal ini, adalah dimensi virtual atau maya yang bekerja secara tak terlihat di dalam realitas masinik.

Ketika Steve Jobs membuat tablet (iPad) yang mengintegrasikan internet, gadget, dan komputer ke dalam suatu bentuk portable yang lebih praktis daripada laptop, gagasan tentang suatu bentuk sistem komputer yang lebih revolusioner daripada yang telah beredar saat itu merupakan suatu “mesin abstrak”. Mesin ini yang memungkinkan iPad lahir sebagai suatu “himpunan”. “Mesin abstrak” mengintegrasikan dua produk teknologis yang lahir saat itu, gadget dan komputer, ke dalam suatu sistem abstrak, yang kemudian mewujud menjadi iPad. Maka, meski nantinya iPad tidak lagi beredar atau dilampaui oleh kecanggihan generasi portable berikutnya, “mesin abstrak” yang bekerja bagi penyempurnaan integrasi tersebut tidak akan habis. Dengan begitu, “mesin abstrak” menyediakan kemungkinan terjauh dari realitas masinik.

Dalam relasinya dengan “mesin abstrak” ini, subjek tidak menjadi prasyarat bagi eksistensi “mesin abstrak”. Subjek hanya menjadi terminal dalam proses realisasi itu agar “mesin abstrak” mewujud menjadi “himpunan”. Dalam hal ini, tidak penting apakah Steve Jobs atau Bill Gates yang mengaktualkan “mesin abstrak” itu, mesin itu akan tetap ada. Subjek, bagi Deleuze-Guattari, hanya merupakan fungsi dari realitas masinik.

Ketidaksentralan subjek dalam realitas masinik ini juga menjadi motif dalam pemikiran Derrida tentang teknologi. Di sini, Derrida memperlihatkan suatu upaya terus-menerus untuk menggeser dan mendesentralisasi subjek antropologis melalui “dekonstruksi” atas sentralitas manusia atau subjek metafisis.

Seperti Deleuze, Derrida menunjukkan bahwa terdapat suatu realitas masinik yang terkait dengan subjek, namun lepas dari kontrol subjek. Realitas ini tidak eksternal, tetapi juga tidak internal terhadap subjek. Bila Deleuze menghipotesiskan “mesin abstrak”, Derrida menyebut realitas masinik itu sebagai archi-writing (archi-écriture), yaitu “inskripsi primordial” yang menjadi syarat bagi lahirnya bahasa, teks, gambar, dan seterusnya.

Dalam pemikiran Derrida, “mesin” mendapat artinya yang lain, yaitu sebagai struktur pra-struktur, suatu struktur yang mendahului segala strukturalitas. Ini adalah radikalisasi atas Gestell: jika Gestell merujuk pada Pembingkaian, archi-writing adalah kondisi struktural dari Pembingkaian yang memungkinkan Bingkai itu tergambar dalam pikiran (a priori). Archi-writing ini disebut Derrida sebagai différance, gerak originer yang memungkinkan struktur terbentuk dari non-struktur dan sebaliknya, non-struktur dari struktur, suatu gerak yang memungkinkan kita membedakan antara kehadiran dan ketidakhadiran suatu Mengada; suatu perbedaan pra-perbedaan. Dengan archi-writing, maka Derrida, dalam hal tertentu, mengantisipasi Deleuze-Guattari. Jika Deleuze-Guattari membedakan antara “mesin abstrak” dan “himpunan”, dan antara the virtual dan the actual, maka pembedaan ini muncul melalui suatu “mesin” yang mendahului “mesin abstrak” maupun “himpunan”, juga mendahului the virtual dan the actual, yaitu différance.

“Mesin” ini bekerja melalui suatu mekanisme tekstual, yaitu membedakan (difference), mengulang (repetition), memproduksi (production), dan menggandakan (doubling), seperti layaknya sebuah teks tertulis yang selalu bekerja dengan mekanisme-mekanisme ini. Ketika kita merangkai kata-kata dalam sebuah teks, maka teks tersebut telah mengandung perbedaan, pengulangan, produksi, dan penggandaan di antara penanda-penandanya. Tetapi, mesin itu sendiri bukan teks dalam pengertian sesuatu yang tertulis. Ia merupakan teks abstrak yang, bagi Derrida, merupakan struktur yang tanpanya teks yang konkret dan empiris tidak dapat terpahami. Karena Derrida memahami différance terdapat dalam setiap struktur, termasuk struktur kesadaran dan subjektivitas, maka baginya, “hidup itu sendiri telah sejak awal dihuni oleh teknikisasi”.[13] Ini berarti bahwa “mesin” telah bekerja bahkan dalam tubuh dan kehidupan subjek. Di sini, Derrida mengaitkan “mesin” dengan tubuh, kesadaran, dan jiwa (psyché)—bahwa semua ini bekerja dengan suatu teknologi tertentu, suatu mekanisme tertentu yang disebut différance. Itu artinya bahwa relasi mesin dan subjek adalah relasi yang tidak dapat dipastikan, karena mesin tidak internal bagi subjek, tetapi juga tidak sepenuhnya eksternal. Mesin tidak internal, karena mesin bekerja di luar subjek dalam bentuk mesin konkret (assemblage, the actual, atau realitas masinik), tetapi mesin juga tidak eksternal, karena ia bekerja di dalam diri, tubuh, dan kesadaran subjek (différance, repetition, doubling).

Seperti Heidegger yang berusaha keluar dari dikotomi internal/eksternal ini, para filsuf kontemporer seperti Simondon, Derrida, dan Deleuze mencoba memikirkan suatu entitas teknologis yang tidak terlibat dalam relasi yang terlalu sederhana dengan manusia. Hal ini memungkinkan mereka keluar dari stereotip lama anti-teknologi: bahwa teknologi, pada dirinya, adalah buruk dan mengancam manusia. Tidak sesederhana stereotip ini, mereka menunjukkan bahwa sejak awal, manusia telah berelasi dan terlibat dengan teknologi, entah secara abstrak maupun konkret, entah secara metafisis maupun empiris.

Mengintimi problem teknologi, para filsuf ini seperti ingin meyakinkan kita bahwa teknologi ada untuk direfleksikan, bukan ditakuti. Itu karena teknologi, seperti dikatakan Heidegger, adalah suatu pertanyaan bagi filsafat dan juga kehidupan.

   ________________________________________
[1] Plato, Republic, I-III.

[2] (Paris: Editions Aubier, coll. « Philosophie », 1989).

[3] The Question Concerning Technology and Other Essays, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977). Judul asli teks ini adalah “Die Frage nach der Technik”, terbit pada 1949, termuat dalam Vorträge und Aufsätze: Gesamtaufgabe Band 7 (Frankfurt am Main: Vittorio Klostermann, 2000).

[4] Heidegger, The Question, h. 5.

[5] Heidegger, Being and Time, trans. Joan Stambaugh (New York: State University of New York Press, 1996); bdk. Heidegger, Sein und Zeit (Tübingen: Max Niemayer Verlag, 1967).

[6] F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian (Jakarta: KPG, 2003), h. 60; Heidegger, Being and Time, §§ 15-16, h. 62-71; Heidegger, Sein und Zeit, §§ 15-16, h. 66-76.

[7] Heidegger, The Question, h. 5; Die Frage, h. 8.

[8] Heidegger, The Question, h. 23; Die Frage, h. 24. “Das Wesen der modernen Technik zeigt sich in dem, was wir das Ge-stell nennen” (Esensi teknologi modern menampakkan diri dalam apa yang kita sebut Gestell).

[9] Heidegger, The Question, h. 21; Die Frage, h. 21.

[10] Simondon, Du mode d’existence des objets techniques, h. 11; Bram Ieven, Machinic Deconstruction: Literature/Politics/Technics (Leiden: Leiden University Press, 2007), h. 17.

[11] Simondon, ibid.

[12] Ieven, Machinic Deconstruction, h. 10.

[13] Jacques Derrida, “Nietzsche and the Machine”, dalam Derrida, Negotiations: Interventions and Interviews 1971-2001, trans. Elizabeth Rottenberg (Stanford: Stanford University Press, 2002), h. 244.


Oleh Muhammad Al-Fayyadl
Mahasiswa pada Program Master “Philosophie et Critiques Contemporaines de La Culture” Université de Paris VIII (Vincennes-Saint-Denis), Paris, Perancis.
Menulis Buku: Derrida (LKiS, 2005) dan Teologi Negatif Ibn ‘Arabi:
Kritik Metafisika Ketuhanan (LKiS, 2012).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar