1 / 3
belajar satu
2 / 3
belajar 2
3 / 3
Caption Three

Rabu, 05 April 2017

Watak Sipil Kepolisian

Akhir 2011 dan awal 2012 merupakan masa yang belum bisa lepas dari torehan warna buram bagi kepolisian di Indonesia. Hal ini tidak lepas dari kebijakan kepolisian dan tindakan di lapangan oleh aparatnya, seperti dalam menangani massa demonstrasi atau penanganan dugaan kasus kriminal, yang berekses pada tindakan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Sesuatu yang tidak diharapkan banyak pihak ketika reformasi kepolisian menjadi agenda yang tak terelakkan dalam proses konsolidasi demokrasi yang sedang diperjuangkan bangsa ini.

Banyak kasus yang bisa dideretkan terkait dengan masalah tersebut di atas. Sebagai contoh, kasus Mesuji (Lampung) yang memakan korban jiwa; bentrok antara masyarakat pendemo dan aparat kepolisian di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat, yang menewaskan dua orang dan belasan lainnya luka-luka; kasus pemidanaan Anjar Adreas Lagaronda (AAL), seorang remaja yang dituduh mencuri sandal seorang anggota kepolisian di Palu; tewasnya dua belia kakak-adik di tahanan Kepolisian Sektor Sijunjung, Sumatera Barat, merupakan sebagian kasus yang mencuatkan isu HAM dan sekaligus memojokkan aparat kepolisian dan institusi Kepolisian RI.

Citra polisi dan cita-cita reformasi di kepolisian pun kembali dipertanyakan oleh berbagai kalangan, ketika berbagai kasus kekerasan yang mencederai nilai-nilai kemanusiaan dan melanggar HAM itu kian mencuat ke publik. Karena itu, tidak berlebihan jika seorang anggota Komisi Kepolisian Nasional, Novel Ali, menilai reformasi internal Polri selama 10 tahun ini masih dinilai gagal. Soalnya, hingga kini masih marak kekerasan yang terjadi dan dilakukan oleh polisi. Kekerasan yang dilakukan polisi merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang. Kultur perilaku polisi masih sangat menyedihkan (Koran Tempo, 12 Januari 2012).

Problema HAM
Pada dasarnya, masalah HAM bukan hanya terkait dengan Polri, tapi menjadi problematik dan hiruk-pikuk bahkan bisa lepas konteks ketika kasus yang dianggap sebagai pelanggaran HAM itu melibatkan atau berkaitan dengan Polri. Pandangan seperti ini bisa dianggap wajar, karena asumsi masyarakat luas terbingkai dalam anggapan bahwa Polri adalah pelindung dan pengayom rakyat. Maka menjadi pertanyaan besar ketika terjadi tindakan yang merugikan rakyat atau melanggar hak asasi mereka.

Tugas perlindungan HAM oleh Polri itu tidak tepat kalau dianggap sebagai sebuah dilema. Penggunaan istilah "dilema" paling tidak menyiratkan dan menimbulkan implikasi pada dua hal. Pertama, seolah Polri tidak mempunyai alternatif atau tidak mau berusaha optimal mencari pilihan lain yang lebih baik dalam menangani masalah. Bukankah dilema itu berarti situasi sulit yang hanya menyediakan dua pilihan, kalau tidak A, maka B.

Kedua, bagi Polri, khususnya ketika "dilema" menjadi bagian dari mindset-nya, hal itu akan menggiring pada cara-cara penyelesaian masalah atau kasus, umpamanya yang melibatkan rakyat atau masyarakat luas, dengan cara-cara berpikir jangka pendek, proforma, manipulatif, dan bisa jadi melakukan tindakan kekerasan. Sudah barang tentu mindset dan modus penanganan masalah ini akan kontraproduktif dengan upaya reformasi di tubuh Polri.

Menurut saya, perlindungan HAM oleh Polri itu merupakan problema. Penggunaan istilah "problema", selain menunjukkan sikap dan pandangan optimistis, selalu memberi harapan bahwa hal yang perlu diselesaikan atau kesenjangan antara harapan dan kenyataan itu masih bisa diikhtiarkan solusinya dengan berbagai cara dan beragam pendekatan yang lebih manusiawi dan pro-HAM.

Kerangka berpikir tersebut akan membentuk cara bersikap dan bertindak aparat kepolisian yang penuh perhitungan dan memperhatikan betul hakikat masalah yang sedang ditanganinya. Penanganan masalah kemudian akan selalu menghindari atau meminimalkan risiko pelanggaran HAM, sehingga solusi yang diambil bukan semata legal-formal, tapi juga mempertimbangkan hakikat masalah dan nilai-nilai kemanusiaan individu ataupun masyarakat.

Dengan mindset atau paradigma seperti itu, tidak perlu terjadi kasus seperti yang menimpa AAL atau pemerkaraan dan pemidanaan kasus-kasus sepele lainnya yang sesungguhnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan di antara kedua belah pihak yang bersengketa. Penegakan hukum yang menjadi salah satu fungsi Polri jangan sampai menafikan fungsi lainnya sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat.

Berwatak Sipil
Agenda besar pemerintah sebagai bagian dari amanat dan cita-cita reformasi dalam penegakan dan perlindungan HAM harus gayung bersambut dengan cara berpikir-bersikap-bertindak Polri. Dalam kondisi negara-bangsa yang sedang ranum dan sekaligus rawan proses demokratisasi dan penguatan masyarakat madaninya, mindset dan paradigma Polri seperti itu akan menjadi saham sejarah yang besar bagi penegakan HAM di Indonesia.

Tidak disangsikan lagi bahwa perlindungan HAM menjadi tuntutan yang tidak bisa dielakkan oleh Polri dalam menunaikan fungsi dan tugasnya. Keniscayaan ini bukan hanya menjadi obligasi moral Polri sesuai dengan amanat konstitusi dan undang-undang (lihat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Bab I Bab IV, dan Bab III Pasal 14 Ayat 1i), tapi juga merupakan pilihan jalan yang bisa sejalur dengan cita-cita reformasi dan demokratisasi serta segerak dengan visi masyarakat madani.

Diakui memang tidak mudah melaksanakan perlindungan HAM dalam menjalankan fungsi dan tugas kepolisian. Namun di situlah arena untuk membuktikan komitmen reformasi Polri yang dapat memperbaiki citra buruk di mata masyarakat sebagai dampak dari ekses tindakan-tindakan para oknum yang tidak bertanggung jawab.

Dengan demikian, fungsi dan tugas pokok Polri harus betul-betul diperankan dalam semangat pelayanan atau berorientasi pada kepentingan masyarakat. Sebab, jika hal ini tidak dilakukan, persepsi masyarakat terhadap Polri akan selalu bernada sumbang dan penuh kecurigaan sebagai alat pemerintah atau agen negara yang tidak memihak serta mengayomi masyarakat. Di sinilah keterbukaan dan keadaban yang dikembangkan bersama dalam pola hubungan antara Polri dan masyarakat akan memperoleh dukungan positif juga dari semangat kehidupan masyarakat madani, setidaknya dalam menciptakan polisi yang berwatak sipil sebagai salah satu tujuan reformasi kepolisian.

Menurut Satjipto Rahardjo (2002), polisi yang berwatak sipil bisa dikatakan sebagai suatu cara perpolisian yang menempatkan manusia atau masyarakat pada titik pusat perhatian. Cara-cara polisi melaksanakan pekerjaannya tidak boleh menyebabkan manusia atau masyarakat menjadi kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya. Polisi yang berwatak sipil dapat dikatakan pula menjadi polisi yang menjalankan tugasnya tidak dengan menggunakan cara yang pendek dan gampang, seperti memaksa dan menggunakan kekerasan, tapi bersedia mendengarkan dan mencari tahu hakikat dari penderitaan manusia.

Menurut penulis, watak polisi seperti ini akan menjadi salah satu faktor keberhasilan dalam membangun kepolisian yang profesional sesuai dengan tuntutan reformasi dan harapan publik serta supportive bagi penegakan HAM. Hal ini semakin menunjukkan arah kebijakan reformasi kepolisian yang sudah dicanangkan pemerintah sejak 2000, dan Polri wajib bersikap proaktif serta committed dalam mengimplementasikannya.

Oleh:
Asep Purnama Bahtiar, Kepala Pusat Studi Muhammadiyah dan Perubahan Sosial Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar