1 / 3
belajar satu
2 / 3
belajar 2
3 / 3
Caption Three

Rabu, 05 April 2017

Mencandra Indonesia

Dalam empat belas tahun terakhir, bangsa Indonesia mencandra (melihat-Red) perubahan penting dan dahsyat. Kita saksikan demokratisasi terjadi di berbagai lini: politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum dan hankam. Pun demikian, kita tidak bisa menutup mata dari anomali dan anomitas akibat perubahan yang berlangsung cepat dan mendadak. Perubahan pasca Reformasi dirasakan belum menghasilkan tatanandemokrasi yang mapan.

Kita telah memilih demokrasi sebagai ‘kontrak politik dan sosial’ bangsa. Kita gandrung demokrasi, karena emoh terhadap otoritarianisme, despotisme, fasisme, monarkisme, dan atau khilafatisme-teokratik. Kita memilih demokrasi, karena ia menjanjikan keteraturan dan kehidupan yang berkeadilan dan berkesejahteraan. Kita memilih demokrasi, karena kita telah memilih visi optimistik dalam melihat masa depan.

Mengapa ‘Jalan Demokrasi’ belum lempang mewujudkan tatanan dan sistem berkeadilan dan berkesejahteraan? Mengapa setiap perubahan sistemik yang ada belum mampu mendekatkan mimpi ke-Indonesiaan kita menuju “sebuah negeri yang aman tentram di bawah naungan Tuhan”? Apa yang perlu dilakukan untuk menyempurnakan deru perubahan transformatif yang tengah sama-sama kita pilih dan lalui ini?

Feodalisme yang Merusak
Dalam Pidato Kebudayaan di TIM akhir tahun lalu, Hajriyanto Y. Thohari menyatakan perubahan sistem dan prosedur yang demokratis akan sempurna jika dibarengi oleh perubahan mental kebudayaan masyarakat Indonesia. Sistem itu, tamsil Wakil Ketua MPR RI itu, bagaikan tonggak dan pilar sebuah bangunan rumah. Sedangkan, tanah adalah sikap mental dan budaya. Rumah seindah dan semegah apapun jika tanahnya masih berupa lumpur, tentu akan mudah roboh di terpa angin. Sebaliknya, jika tanahnya keras dan solid, tentu, rumah yang akan kita bangun dan diami mampu bertahan dari perubahan iklim dan cuaca, termasuk gempa.

Penamsilan ini tampak cocok dengan realitas yang terjadi saat ini. Begitu banyak perubahan dan reformasi sistem dan prosedur demokrasi kita: empat kali amandemen UUD 1945, UU Otoda, UU Partai Politik, Pilkada dan Pilpres, reformasi hukum, dan sebagainya. Semua perubahan itu hakikatnya mendekatkan pada terwujudnya Indonesia yang maju, adil, makmur, sentosa dan demokratis. Namun, “tanah” Indonesia yang masih berlumpur budaya feodal, egoistik dan primordial akan memorakporandakan soliditas tiang pancang perubahan Indonesia.

Dalam tanah kebudayaan yang masih feodal, teater politik kita masih dipenuhi politisi antagonis yang memuakkan. Politisi yang lahir berkat uang dan popularitas. Karena itu, feodalisme menyuburkan laku koruptif dan machevelianistik sebagian politisi kita yang glamor dan rakus uang dan kuasa. Akibatnya, prinsip res-publika digadaikan oleh negosiasi Mahadelaila dan politik 'daging sapi'. Kita jengah dan bertanya, 'mengapa teater politik kita bukan milik politisi sejati yang penuh hikmat dan kebijaksanaan, sebagaimana saran Al-Farabi dalam al-Madinah al-Fudhla (Kota Utama), yakni politik dan politisi yang membajikkan seluruh umat manusia? '

Kondisi ekonomi diumpankan pada gurita liberalisme kapitalistik yang meminggirkan ‘wong cilik’. Krisis seringkali menjadi alibi, yang menggalibkan banalitas kemiskinan dan ketidaksejahteraan. Padahal, kuasa ekonomi liberal itulah yang telah mencabik-cabik prinsip keadilan ekonomi yang termaktub pada UUD 1945 dan Pancasila. Ekonomi rakyatpun dalam jurang 'kekafiran' dan kesekaratan. Begitupula dengan rasa keadilan hukum di negeri ini yang telah dan tengah dimenangkan oleh gerombolan mafia beruang.

Rakyat jatuh dalam rundung bingung, terhuyung dalam ketiadaan tauladan. Rakyat ditinggalkan sendirian, dalam sengkarut kehidupan yang melelahkan. Rakyat pun bebas meniru tiap adegan dan pembabakan yang dimainkan para elite politik, sosial, agama, dan budaya yang tengah dimabuk kedirian. Akibatnya fatal, amok dan amarah dalam bentuk konflik dan kekerasan menjadi sebuah delik kelaziman. Elite-pun mendapatkan “peruntungan politik” dari ketidakberaturan ini: rakyat yang sibuk dengan dirinya, tak akan mengurusi pemimpinnya.

Dalam tradisi politik feodal, pemimpin itu pangreh praja yang diangkat sebagai abdi dalem yang harus patuh pada Baginda Raja. Feodalisme melahirkan “pejabat-pejabat” yang memuja aksesoris politik, ekonomi dan sosial budaya yang dilekatkan pada baju kebesarannya. Feodalisme mematikan spirit pengabdian dan pelayanan pada rakyat. Pejabat feodal menggunakan kekuasaan untuk dignitas semu: kekayaan dan pangkat.
Sebaliknya, budaya politik egaliter dan kosmopolitan, pemimpin pada dasarnya adalah pelayan rakyat. Jabatan politik dipandangnyasebagai kefanaan yang wajib ditunaikan. Karena itu, ia sedih manakala tak mampu membayar mandat rakyat. Pelayan rakyat melayani semua kelompok masyarakat. Ia tidak membangun istana palsu (simulacra) sebagai pesolek politik yang bergincu.

Membangun Watak
Feodalisme juga menggerus elan kebangsaan dan kemandirian. Kita nyaman untuk menghamba pada Sang Liyan, sebab ia menjanjikan kemudahan dan kemewahan. Kita tanpa berdosa merelakan kekayaan dan khazanah surgawi Ibu Pertiwi pada kerakusan politik, ekonomi dan kebudayaan Sang Liyan. Kita masih menganggap bangsa kita selalu kalah bersaing dalam segala hal. Sebaliknya, meyakini Sang Liyan adalah segalanya.

Kita yakin, Sang Liyan memiliki kamukten yang mengatasi kita. Sedangkan kita? “Ah, kita belum beranjak dari bangsa kuli”, seloroh kaum elite penguasa tidak tahu diri. Rakyat pun mengamini, “sami’na wa atho’na, benar sekali kata-kata Anda Duli Tuanku. Akibat feodalisme yang menggelayut, kita menjadi pribadi minder dan kurang percaya pada diri dan menghargai sesama anak bangsa.

Kita sesungguhnya adalah bangsa besar yang mempunyai watak kuat. Kita mewarisi sejarah kerajaan dan kesultanan di Nusantara yang disegani dan dikagumi dunia. Konon, kita juga pewaris peradaban Atlantis, jika kita bersetuju dengan tesis dan temuan Prof. Aryos Santos dari Brazil itu. Melalui “Atlantis: The Lost Continent Finally Found, The Definitive Location of Plato’s Lost Civilisation (2005)”,Santos mewartakan Atlantis itu ada di Indonesia!

Kita bukanlah bangsa “sudra” yang mengidap rasa rendah diri dan saling berseteru. Kishore Mahbubani dalam bukunya Can Asians Think? (2010) secara tegas mengatakan bahwa bangsa Asia termasuk Indonesia memiliki asian values yang membantah mitos jika bangsa Asia itu pemalas. Kita ini, sebaliknya, adalah bangsa yang giat dan rajin bekerja, biasa berkorban untuk sebuah mimpi dan cita-cita, tak pernah putus asa meski kegagalan kadang menyapa.

Kita memiliki semua syarat untuk maju. Sejarah dan pengalaman bangsa yang adiluhung selama ribuan tahun meggerakkan kita semua untuk menggapai Indonesia yang memakmurkan dan membajikkan semesta manusia dan alam. Untuk itu, mari bersama kita siangi, pilah, pisah dan jauhkan feodalisme, egoisme, dan primordialisme. Sebaliknya, kita tanami akal budi dan jiwa raga ini dengan benih-benih yang berkualitas, yakni mentalitas rasional, tekun, dan giat bekerja dalam mencapai kemajuan, yang dilandasi prinsip kekeluargaan dan kegotongroyongan serta kepercayaan diri dan pada orang lain.

Tuhan Maha Tahu

Oleh:
Andar Nubowo
Mahasiswa S3 EHESS Paris Perancis,
Direktur Riset Agama dan Kebangsaan Public Virtue Institute Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar