Gus Dur, barangkali sebutan yang paling demokratis, paling
bersahabat, sekaligus paling hormat dan paling hangat menggambarkan
persaudaraan dengan tokoh yang luar biasa, yang menjila, sang pemilik nama.
Semua mulut bisa menyebutkan nama Gus Dur, semua telinga mengerti siapa yang
dimaksud, dan semua hati menaruh rasa kagum dan rasa hormat yang tinggi. Gus
Dur menggambarkan semua yang terangkum dalam sebutan KH Abdurrahman Wahid,
mantan Presiden RI, atau jabatan apa pun, yang beragam yang pernah digenggam.
Tanyakan kepada semua posisi atau tokoh masyarakat, baik agamawan,
politisi, seniman, negarawan, tukang ojek, maupun pemulung, mereka bisa
menceritakan pengalamannya. Tanyakan kepada angin, kepada hujan, atau
pepohonan, mereka bisa mengatakan hal yang sama. Tanyakan kepada debu atau
batu, jawaban mereka tak jauh berbeda. Dalam budaya Jawa, Gus Dur adalah
lakone, sang tokoh utama dalam segala perkara yang boleh apa saja, dan bisa.
Segala yang luar biasa pantas disandangkan padanya. Sebaliknya, segala yang biasa
menjadi luar biasa. Maka kepergiannya yang abadi, Rabu, 30 Desember 2009, di
RSCM Jakarta, dalam usia 69 tahun, sesungguhnya diterima sebagai tidur
sementara. Tidur tanpa mendengkur, seperti kebiasannya selama ini.
Tradisi
Guru bangsa yang memperjuangkan demokrasi, pluralisme budaya, dan
hak-hak kemanusiaan ini, mempunyai riwayat yang dekat dengan siapa saja,
mempunyai jalan awal yang tak berbeda dari kita pada umumnya. Pada awal tahun
70-an, saya masih ingat Gus Dur datang dengan Vespa -kemudian lebih sering
diboncengkan, ke redaksi Kompas di Palmerah Selatan, Jakarta. Menunggu mesin
ketik yang kosong, kemudian mengetik apa saja: komentar film, pertandingan
sepak bola, atau soal politik. Yang unik bukan apa yang dituliskan, melainkan
pembicaraan yang mengganggunya saat mengetik. Para wartawan mengerumuni,
bertanya apa saja. Dan dijawab dengan ringan menawan. Jauh sebelum idiom, “gitu
aja kok repot”, Gus Dur telah menjalaninya dengan sederhana, dengan
biasa. Kalau hanya begitu, kurang seru. Karena “tradisi” ini juga terjadi pada
majalah Zaman, yang diterbitkan oleh grup Tempo. Padahal, sebenarnya
kedatangannya ke sana untuk menjemput istrinya yang menjadi redaktur di situ.
Sambil menunggu, bisa mengetik artikel dan memberikan pembekalan kepada
wartawan-wartawan yang masih terlalu hijau dalam bekerja. Tapi, begitulah Gus
Dur, tak membedakan senior-yunior, tak membedakan kelompok mana.
Saya juga pernah menikmati satu-dua kali, dengan mobil kecil datang ke
berbagai seminar -pernah bertiga dengan Goenawan Mohammad. Kalau tak salah,
usulan karcis tol berlangganan muncul di sini. Karena seringnya menggunakan
jalan tol -terutama ke bandara, Gus Dur menuliskan atau mengusulkan melalui
surat pembaca. Kadang kami menggoda dengan sengaja menanyakan nomor telepon seseorang,
yang dihapal Gus Dur di luar kepala, bahkan sambil tiduran sekali pun. Tujuh
angka bisa disebutkan, dan bukan hanya tujuh belas tokoh yang ditanyakan.
Kadang, Gus Dur ngomel, bukan karena dikerjai, melainkan karena terganggu
tidurnya.
Soal tidur ini merupakan hal yang extraordinary betulan. Dalam
sebuah diskusi teater pada 1993, di mimbar panel diskusi, Gus Dur benar-benar
tertidur sampai mendengkur. Bahkan ketika sampai gilirannya, harus disenggol
dan dibangunkan. Tapi, ya itulah lakone, terbangun seketika, bisa menanggapi
pembicara sebelumnya dan tetap membuat pendengarnya tertawa. Saya ingat
tahun itu, karena itu saat saya keluar dari penjara. Adalah Gus Dur sendirian
yang membela “kasus Monitor”, yang menghebohkan, yang membuatnya “diadili” kaum
ulama, tiga tahun sebelumnya. Saya khusus menemui dan mengucapkan terima kasih,
mencium tangannya. Gus Dur menerima, seperti juga menerima salam dan ciuman
tangan dari yang lain, sambil terus jalan. Saya agak kecewa dan
terucap.”Yaaah, Gus Dur lupa sama saya….” Di tengah jalan menuju mimbar, Gus
Dur berhenti dan berpaling: “Kalau baumu, saya masih ingat…” Selalu ada
yang mencengangkan dari sikap yang biasa-biasa. Bagi saya, pembelaan Gus Dur
sesuatu yang luar biasa, tapi bagi Gus Dur itu selalu yang biasa, yang
dilakukannya. Juga bukan hal yang pribadi -karena yang dibela soal kebebasan
berpendapat.
Soal cium tangan ini Gus Dur kemudian sekali menolak. Bukan karena
apa, melainkan saat itu Gus Dur mulai sering cuci darah dan tangannya masih
sakit terkena infus. “Nanti saja kalau sudah sembuh.” Sayangnya, tangan
kiri-kanan tak segera membaik.
Tanggung Jawab
Semasa menjabat sebagai Presiden RI pun gaya Gus Dur tak banyak
berubah. Masih selalu terbuka -dan ini tidak biasa- menerima teman-teman
seniman, di Istana Negara. Kadang pengawal direpotkan, karena para tamu tidak
tercantum namanya dalam daftar undangan. Kalaupun kemudian dikonfirmasikan, ya
tetap diterima. Kadang pertemuannya pun tak berbeda dengan di luar Istana. Pernah
waktu buka puasa bersama, Umar Kayam, almarhum, yang waktu itu sudah agak
sakit, duduk di kursi. Sementar Gus Dur duduk lesehan di bawah. Pembicaraan
tetap terbuka, berlangsung tanya jawab ke sana kemari dengan orang nomor satu
di republik ini.
Kadang sedemikian terbuka. Dalam rangka menyambut Hari Anak, saya
mewawancarai bersama penyanyi cilik, Yoshua. Gus Dur bicara berapi-api, situasi
politik sedang memanas, dengan menyebut nama-nama tokoh lain. Saya berusaha
mengingatkan. “Gus, ini direkam, kamera tv masih nyala.” Jawabannya? “Sekarang menjadi
tanggung jawabmu. Kamu yang menentukan disiarkan atau tidak.”
Begitulah, dengan gayanya, Gus Dur’s way, hal -hal yang mendasar
ditularkan, dibagi, tanpa ketegangan.
Terakhir kali bertemu Gus Dur, di kediamannya di Ciganjur, saat
berbuka bersama anak-anak yatim piatu, dan saya diminta memberikan sambutan.
Pada akhir acara, Gus Dur memuji dan saya berbisik: “Gus, itu tadi kan dari
tulisan Gus Dur. Saya sudah katakan di depan, waktu Gus Dur belum datang.”
Masih banyak kisah sesungguhnya dari Gus Dur, yang dialami siapa saja.
Dengan segala kearifan, kejenakaan -satu-satunya presiden di dunia yang
memiliki koleksi humor terbanyak dan diutarakan terbuka, menyapa, bahkan
menghibur. Segala debu segala batu pun akan bercerita, betapa sesungguhnya Gus
Dur adalah berkah, adalah kasih, bagi bangsa Indonesia, tanpa terbedakan agama,
keyakinan, suku, atau nama asal, atau pakaian yang dikenakan. Gus Dur adalah
anugerah bagi bangsa Indonesia yang utuh, yang bisa disentuh.
Oleh
Arswendo Atmowiloto
Budayawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar