Judul : Wali Songo, Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan
Penulis : Agus Sunyoto
Tebal : 282
Penerbit : TRANSPUSTAKA, 2011
ISBN : 978-979-3907-11-6
Peresensi : Dinno Munfaidzin Imamah
Abad 7 hingga ke-13, peradaban Islam menguasai dunia dengan ilmu dan teknologinya yang lebih unggul dari Barat. Kemudian dihantam dan diratakan dengan tanah oleh Hulagu Khan (Mongol). Peradaban Aztec dan Inca dihancurkan pada masa awal penjelajahan Eropa dengan teknologi perang yang lebih canggih. Bangsa-bangsa Afrika menderita selama ribuan tahun akibat perbudakan. Nusantara kita dikangkangi Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, dan Jepang lebih dari 350 tahun lamanya. Inggris menguasai dunia dengan kemajuan teknologi perkapalan dan revolusi industri. Inggris menjajah India sejak abad ke-18. Cina dijajah negara-negara Barat dan Jepang pada abad ke-19. Pada Perang Dunia II, giliran Eropa dilindas Nazi Jerman. Jepang menjajah negara-negara Asia di Perang Dunia II. Amerika membom atom Jepang pada 1945. Bangsa yang unggul (superior) akan mudah mengalahkan bangsa yang lemah (inferior). Bangsa yang lemah, lembek akan dijadikan mangsa dan budak-budak serta kuli.
Setiap gerak sejarah Nusantara takkan pernah lepas dari tali temali gejolak dunia. Konstelasi internasional merupakan satu-satunya faktor penentu peristiwa di Bumi Nusantara kita. Berdirinya kerajaan Majapahit, dilatarbelakangi saat Singosari bertabrakan dengan Khubilai Khan. Perjuangan konsolidasi majelis Wali Songo yang dipelopori sang pembaharu, Syaikh Siti Jenar dan Sunan Ampel merupakan refleksi dan aksi geo-religius dan geo-politik dari radikalisme agama di Tanah Persia yakni lahirnya ‘Sang Tuhan’ Dinasti Safawiyah di bawah komando maharaja absolut perwujudan Tuhan, yang membabat habis wali-wali Tuhan tanpa sisa. Serta akan datangnya ‘pasukan Ya’juj Ma’juj Dajjal’ di bawah bendera Vasco Da Gama (Portugis). Kerajaan Mataram bisa berdiri karena Demak mengalami pelemahan setelah kalah bentrok dengan Portugis. Kemudian, Jepang masuk ke Indonesia saat Belanda lemah di kampung halamannya, dihantam badai swastika Nazi Hitler. Bumi Jepang luluhlantak dan diratakan dengan tanah oleh kekuatan bom atom Amerika. Akhirnya, meledak dan lahirlah kemerdekaan Nusantara yang saat ini kita nikmati bernama bumi Indonesia.
Perjuangan Wali Songo
Ada adagium yang mengatakan bahwa sejarah adalah hasil
kontruksi elit, dimana sejarah adalah cerita kemenangan yang umumnya ditulis
oleh para pemenang dan penguasa. Artinya siapa yang mampu merekonstruksi
sejarah, pastilah akan menjadi pemenang dan digdaya dalam menapaki rentang
waktu yang penuh pergulatan dan pertempuran untuk menentukan siapa yang menang
dan siapa yang kalah.
Bertumpu dari adagium ini, perjuangan tokoh-tokoh
besar sejarah Nusantara anggota Wali Songo dihapus dari Ensiklopedia Islam
Indonesia (Terbitan Van Hoeve). Tidak bisa ditafsirkan lain kecuali adanya
anasir-anasir sistematis dari keislaman mainstream Nusantara, faham Ahlusunnah
Wal Jama’ah yang dikenal oleh kelompok Nahdhiyin (NU); untuk menghapuskan
keberadaan perjuangan Wali Songo dari sejarah dakwah Islam di Nusantara. Di
masa depan, secara akademis-intelektual keberadaan perjuangan Wali Songo akan
terpinggirkan, dan disingkirkan dan hanya menjadi dongeng legendaris belaka.
Wali Songo dan Islam Nusantara bagi kaum positivistik adalah sinkretis,
asimilatif, semi-animis, mistis (irrasional), dan tradisionalis anti-gerak
kemajuan dunia.
Fenomena ini tidak hanya lepas dari tilikan para
sejarawan, para intelektual yang mengaku-aku kaum pembaruan Islam, ilmuwan sosial yang pada umumnya juga masih gelap-gulita
melihat kenyataan itu. Hanya karena keangkuhan akademik-intelektualisme, mereka
tak mau menerobos kabut mitologi (legenda)
yang menyelebungi realitas sejarah Nusantara yang sejati. Tidak mempunyai
kesabaran dan kepekaan lebih untuk membaca babat, prasasti, menyisir sejarah
adi-luhung, menyusuri jejak-jejak spiritualisme, dan doktrin ilmiah versi Nusantara.
Di tengah arus kemelut, dan kerancuan, bahkan kegelapan sejarah itulah Agus Sunyoto, sejarawan Nusantara berikhtiar mementaskan perjuangan Wali Songo dalam panggung sejarah Nusantara. Misi yang sungguh berat, di tengah gempuran aliran positivistik. Penulis memilah antara sejarah dengan mitos. Dibutuhkan data sejarah yang kuat untuk mendukung argumen dan pandangannya. Untuk itu diperlukan kemampuan khusus dalam membaca prasasti, naskah berbahasa Kawi dan Jawa Kuno, termasuk bahasa Sansekerta dan Arab.
Di tengah arus kemelut, dan kerancuan, bahkan kegelapan sejarah itulah Agus Sunyoto, sejarawan Nusantara berikhtiar mementaskan perjuangan Wali Songo dalam panggung sejarah Nusantara. Misi yang sungguh berat, di tengah gempuran aliran positivistik. Penulis memilah antara sejarah dengan mitos. Dibutuhkan data sejarah yang kuat untuk mendukung argumen dan pandangannya. Untuk itu diperlukan kemampuan khusus dalam membaca prasasti, naskah berbahasa Kawi dan Jawa Kuno, termasuk bahasa Sansekerta dan Arab.
Kesadaran akan makna pentingnya perjuangan Wali Songo
dalam sejarah Islam di bumi Nusantara yang sisa-sisa jejaknya masih sangat jelas terlihat sampai
saat ini. Dengan
semangat rawe-rawe rantas malang malang putung dan vivere vericoloco, sejarawan Nusantara ini meneliti dengan
serius sejarah perjuangan Wali Songo untuk “melengkapi” Ensiklopedia Islam
Indonesia yang tampaknya dengan sengaja akan menyingkirkan tokoh-tokoh penyebar
Islam abad ke-15 dan ke-16 yang berjasa dalam mengislamkan Nusantara tersebut.
Dalam buku Wali Songo; Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, komandan NU saat ini KH. Said Aqil Sirodj, dalam kata pengantarnya mengatakan perjuangan Wali Songo dalam menggalang kepercayaan umat melalui perjalanan dakwah yang tak kenal lelah, menancapkan tauhid dalam pikiran dan hati di bumi Nusantara, dibarengi apresiasi yang sangat tinggi pada agama Hindu, Buddha, Tantrayana, Kapitayan, dan lainnya. Wali Songo mampu mengelola budaya, sehingga diterima oleh hampir masyarakat Nusantara. Wali Songo mampu menjalankan misi dari bidang-bidang strategis dari bidang keagamaan, tata kemasyarakatan, strategi kebudayaan, geo-politik saat itu, ekonomi, pengembangan kesenian, dan sebagainya.
Dalam buku Wali Songo; Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, komandan NU saat ini KH. Said Aqil Sirodj, dalam kata pengantarnya mengatakan perjuangan Wali Songo dalam menggalang kepercayaan umat melalui perjalanan dakwah yang tak kenal lelah, menancapkan tauhid dalam pikiran dan hati di bumi Nusantara, dibarengi apresiasi yang sangat tinggi pada agama Hindu, Buddha, Tantrayana, Kapitayan, dan lainnya. Wali Songo mampu mengelola budaya, sehingga diterima oleh hampir masyarakat Nusantara. Wali Songo mampu menjalankan misi dari bidang-bidang strategis dari bidang keagamaan, tata kemasyarakatan, strategi kebudayaan, geo-politik saat itu, ekonomi, pengembangan kesenian, dan sebagainya.
Strategi jitu para Wali Songo dalam mengembangkan
ajaran Islam di bumi Nusantara dimulai dengan beberapa langkah strategis. Pertama, tadrij (bertahap). Tak ada ajaran yang
diberlakukan secara mendadak, semua melalui proses penyesuaian. Bahkan, tak jarang secara lahir bertentangan dengan Islam,
tapi ini hanya strategi. Misalnya, mereka dibiarkan minum tuak, makan babi, atau mempercayai
para Danyang dan Sang Hyang. Secara bertahap, perilaku mereka itu diluruskan.
Kedua, ‘adamul haraj (tidak menyakiti). Perjuangan Wali Songo menyebarkan
Islam tidak dengan mengusik tradisi yang ada, tidak menggangu agama, sistem
nilai dan kepercayaan, tapi memperkuatnya dengan cara yang Islami.
Buku ini menjelaskan dengan detail bahwa Wali Songo menyadari sungguh-sungguh, bahwa Nusantara yang multietnis, multibudaya, dan multibahasa, ini adalah anugerah Tuhan yang tiada tara. Belum lagi kondisi alam yang ramah, iklimnya yang tropis, tidak ekstrim. Ditambah dengan keanekaragaman hayati, hingga Wali Songo mensyukurinya dengan tidak merusak budaya yang ada atas nama Islam dan sebagainya. Anugerah yang mesti dilestarikan dan dikembangkan, bukan diingkari dengan dibabat dan dihancurkan atas nama kemurnian agama (purifikasi), terorisme, atau atas nama kemodernan. Islam hadir di paras bumi Nusantara ini justru merawat, memperkaya, dan memperkuat multikulturalisme Nusantara sehingga bisa berdiri sejajar dengan peradaban dunia yang unggul lainnya.
Karya sejarawan Nusantara yang juga penulis Novel berjilid-jilid berjudul Perjuangan Syaikh Siti Jenar dan Novel Rahuvanna Tatwa, ini terdiri dari 6 Bab yaitu bab 1: Data tentang Bangsa Nusantara, Bab 2: Para Wali dan Dakwah Islam, Bab 3: Kemunduran Majapahit dan Perkembangan Dakwah Islam, Bab 4: Dakwah Islam Masa Wali Songo, Bab 5: Tokoh-tokoh Wali Songo, serta Bab 6: Wali Songo dan Pembentukan Masyarakat Islam Nusantara. Buku ini juga sebagai sebuah undangan terbuka untuk masyarakat Islam Indonesia untuk mengetahui tentang negara-bangsanya di masa depan, dengan memahami masa lalu dan melihat masa kini.
Pembaca bisa memperoleh pijakan historis yang kuat.
Kita akan lebih yakin untuk meneladani, menyebarkan serta mempelajari strategi
perjuangan mereka. Sangat penting bagi kaum muda dan masyarakat bangsa yang
sudah sangat kritis di era kapitalisme sekarang ini. Sebab, dengan bukti
historis yang ada, kaum muda punya kecerdasan dan akumulasi pengetahuan lebih
yang dulu dimiliki Wali Songo. Akan mudah dan mau menebar perjuangan Wali
Songo, sebagai perintis, pelopor dan provokator kesadaran melawan tatanan anti Tuhan saat ini (baca: kelezatan kekayaan duniawi). Sebuah struktur dan gerak
dunia, keadaan zaman Indonesia yang dulu pernah dialami Wali Songo, merubah tatanan Nusantara yang dulu berkiblat poros
cinta-dunia.
Belajar dari keberhasilan dalam pembentukan masyarakat Islam Nusantara yang dahulu dilakukan oleh Wali Songo, mampu kita teladani di tengah arus banjir bandang globalisasi yang dahsyat saat ini. Seperti juga yang pernah diteladani oleh Guru Bangsa, KH Abdurrahman Wahid, yakni gerakan Pribumisasi Islam. Berdzikir, berpikir dan menggerakkan kembali nation-state of Indonesia untuk menggapai matahari kemajuan Republik, pluralisme sejati, kebhinnekaan, kesejahteraan, dan mencinta nilai-nilai utama kemanusiaan. Serta jadi bangsa Indonesia yang unggul, mandiri, tidak lembek yang akan kelak dijadikan mangsa, budak-budak dan kuli oleh para pemuja dan pecinta kelezatan duniawi; laskar Ya’juj Ma’juj Dajjal.
Penulis adalah mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, aktifis di PB PMII
Tidak ada komentar:
Posting Komentar