Setiap pekan ada acara yang disebut ‘Asia-at-Noon’ di kampus State University of New York. Pada Oktober 2006, acara itu diisi diskusi bertajuk The Place of Indonesia in Islamic World. Isinya membahas peran negara kita dalam percaturan dunia Islam. Ada sebuah pertanyaan yang disampaikan oleh peserta menyangkut syari’ah yang pada... saat itu menjadi isu di masyarakat. Tentu saja pertanyaan itu kemudian merambah ke Piagam Jakarta, platform partai-partai politik, peraturan daerah (perda), dan sebagainya. Mereka bertanya dengan rasa ketakutan bahwa Indonesia akan menjadi negara kejam dan diskriminatif. Mereka menyaksikan melalui media massa tentang wacana dan demonstrasi yang mengusung isu syari’ah.
Dalam al-Qur’an, kata syari’ah disebut hanya sekali, yakni Surat al-Jatsiyah: 18. Tsumma ja’alnaka ‘ala syari’atin min al-amr (kemudian kami jadikan engkau berada di atas syariat dari urusan itu). Sekalipun hanya disebut sekali, kata-kata itu dalam proses sejarah Islam menjadi sangat penting. Di masa kini, kata-kata itu semakin penting. Ada Mahkamah Syari’ah, ada Fakultas Syari’ah, ada Bank Syari’ah, dan ada juga Gerakan Pro-Syari’ah.
Dalam kitab Lisan al-Arab karya Ibn al-Mandhur, syari’ah berarti tempat air di tepi laut, tempat binatang minum. Bisa juga berarti jalan menuju mata air. Kemudian dalam konteks Islam, kata penulis tersebut, syari’ah bermakna apa yang ditentukan dalam agama. Pengertian ini menunjukkan cakupan syari’ah yang sangat luas. Ia mencakup seluruh amal perbuatan manusia yang diajarkan dalam Islam, mulai dari urusan makro sampai mikro. Mulai dari persoalan hubungan internasional sampai ke persoalan perilaku individual. Dengan kata lain, syari’ah menyangkut ajaran akhlaq (etika atau moral), muamalah (hubungan antarmanusia) dan ibadah (hubungan manusia dengan Tuhan).
Namun, ada kalanya syari’ah mengalami penyempitan makna. Syari’ah dipahami hanya sebagai hukum-hukum agama; bahkan dipersempit lagi menjadi hukum fikih; dipersempit lagi menjadi hukum perdata dan pidana. Yang sangat menggelisahkan adalah bahwa syari’ah diidentikkan hanya dengan hukum rajam dan potong tangan.
Bagi umat Islam, sesungguhnya tidak ada persoalan bahwa syari’ah adalah jalan hidup yang tidak bisa ditawar. Persoalannya terletak pada pemahamannya. Syari’ah harus dipahami secara komprehensif dan harus terwujud dalam kehidupan nyata. Karena itu, mendidik masyarakat untuk bisa bersuci secara higenis, misalnya, adalah manifestasi dari syari’ah. Bersuci tidak hanya cukup dengan menggunakan ukuran formalitas fikih saja. Bersuci sesuai dengan prinsip-prinsip kesehatan adalah bagian dari pelaksanaan syari’ah. Berjuang untuk melawan kemiskinan dan kebodohan adalah bagian dari syari’ah. Berjuang untuk menegakkan keadilan dan martabat manusia adalah juga bagian dari syari’ah. Demikian juga, memberantas korupsi dan menegakkan amanah adalah kewajiban syari’ah.
Menegakkan syari’ah memerlukan strategi. Tidak cukup hanya dengan mengandalkan semangat dan keikhlasan. Semangat dan keikhlasan adalah penting, tetapi belum cukup untuk menjadikan perjuangan itu berhasil. Perjuangan memerlukan strategi. Karena itu, tidaklah cukup menegakkan syari’ah dengan memasang spanduk di jalan-jalan, atau demonstrasi. Apalagi dengan menakut-nakuti orang di jalan. Strategi itu akan menimbulkan ketakutan. Syari’ah kemudian dikesankan sebagai simbol yang menakutkan, bukan yang dibutuhkan.
Strategi menegakkan syari’ah melalui pendidikan dan layanan sosial tidak kalah penting. Penegakan syari’ah melalui jalan damai dan realistik akan lebih efektif. Karena itu, menjadikan syari’ah sebagai isu politik tidaklah produktif. Lebih baik kita mendorong esensi syari’ah yang berorientasi pada kemaslahatan, misalnya menjadi ruh bagi seluruh produk legislasi.
Kegagalan aktivis Islam dalam memahami syari’ah akan merugikan dakwah Islam. Lebih fatal lagi jika isu syari’ah hanya bertujuan politis dan berjangka pendek. Bisa dipahami jika masyarakat non-Muslim, seperti yang terlihat dalam forum Asia-at-Noon itu, merasa miris mendengarkan kata-kata ‘syari’ah’ karena berkonotasi hukum rajam, potong tangan, dan diskriminasi.
Oleh: Prof Dr H Syafiq A. Mughni MA
Ketua PWM Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar