Oleh KH. Mustofa Bisri
Ini tulisanku di Jawapos/Indopos
hari ini, Selasa 25 Januari 2011, barangkali
saudara-saudara yang tidak langganan atau tidak sempat membaca JP/IP bisa
membaca ini:
Menanggapi situasi kehidupan
berbangsa di tanah air, tentunya terutama setelah terkuaknya praktek
Gayusisasi dan munculnya ‘fatwa kebohongan’ dari para tokoh lintas agama,
baru-baru ini Akademisi dari beberapa perguruan tinggi negeri dan swasta
serta tokoh agama di Jawa Timur mendeklarasikan Gerakan Anti bohong di
Universitas Muhammadiyah Surabaya. Kebiasaan berbohong dinilai menjadi
akar masalah dalam kehidupan berbangsa di Indonesia.
Pencanangan gerakan itu
ditandai dengan penyematan pin bertuliskan “Stop bohong: Tidak bohong adalah
Karakter Pribadi Saya”. Selain itu, komitmen dukungan pada pada gerakan
dilakukan dengan menandatangani dua spanduk masing-masing sepanjang 7 meter.
Gerakan yang digagas para
Akademisi ini merupakan salah satu upaya bagi ikut memperbaiki kondisi
tanah air yang memprihatinkan dewasa ini melalui perbaikan karakter
bangsa. Dimulai dari mengubah pekerti umum bohong menjadi jujur.
Sebagai salah satu upaya memperbaiki karakter dan moral bangsa ,
gerakan ini baik sekali dan perlu didukung.
Mungkin gerakan ini –terutama
bila disepakati dan didukung banyak pihak-- bisa menurunkan tingkat
kebohongan, namun apakah dalam saat yang sama masalah dalam kehidupan berbangsa
ini akan terpecahkan atau sedikit saja terpecahkan? Untuk menjawab
ini, mungkin kita perlu kembali kepada pertanyaan
yang lebih awal: sudah tepatkah menganggap kebiasaan ber bohong sebagai
akar masalah dalam kehidupan berbangsa di negeri ini?
Saya sendiri kurang sependapat bila
kebiasaan berbohong dinilai sebagai akar atau pokok pangkal masalah dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara di republik ini. Menurut saya, kebiasaan
bohong, sama dengan kebiasaan-kebiasaan buruk yang lain seperti
mengkhianati amanat; merampas hak orang lain; ngawur;
menyepelekan hukum; tak punya malu; menjilat yang di atas;
menginjak yang di bawah; mementingkan diri sendiri; dlsb, ‘hanyalah’
dampak. Bukan akar masalah. Kebiasaan-kebiasaan ini tentu masih
memerlukan pertanyaan: mengapa ada kebiasaan-kebiasaan buruk seperti itu?
Mengapa misalnya, orang
berbohong? Orang berbohong bisa karena takut atau karena sesuatu
pamrih. Kalau seseorang bohong karena takut, takut apa? Kalau karena pamrih,
pamrih apa? Mengapa orang yang mengkhianati amanat? Mengapa
orang tega merampas hak orang lain? Mengapa orang ngawur ? Demikian seterusnya.
Dalam kaitan dengan masalah yang melilit bangsa kita dewasa ini,
pertanyaan-pertanyaan itu bisa menggiring kepada jawaban terakhir
yang menurut saya, ialah akar masalah. Apa itu?
Menurut saya akar masalah itu
berawal dari bergesernya pandangan hidup kita, terutama konsep kita tentang
kehidupan dunia ini. Dulu orang Jawa, misalnya, mempunyai falsafat “Hidup di
dunia ini hanyalah ibarat mampir ngombe, mampir minum.” Ini hampir
senada dengan anjuran Nabi Muhammad SAW, “Kun fiddunya kaannaka ghariibun au
‘aabiru sabiil” , Jadilah kamu di dunia ini seolah-olah orang
asing atau penyeberang jalan.” Karena pandangan hidup inilah,
kesederhanaan hidup menjadi sebuah anutan masyarakat . Sisa-sisa
budaya kesederhanaan ini masih bisa dijumpai –meski sudah mulai langka—di
desa-desa.
Ironinya, falsafat Jawa “mampir
ngombe” yang agamis itu, mulai tampak terabaikan lalu seperti dilupakan
sejak kekuasaan ‘raja Jawa’ Suharto. Entah disadari atau tidak, dalam
masa kekuasaannya yang sekian lama; Suharto laiknya pendidik yang genial telah
berhasil mendidik bangsa ini untuk mencintai kehidupan duniawi
sedemikian rupa, sehingga nyaris tak ada lagi warga negeri ini yang memandang
kehidupan duniawi ini biasa-biasa saja. Yang kalau pun menganggap penting,
hanyalah sekedar sebagai wasilah atau sarana bagi kehidupan yang
lebih esensial dan abadi di akherat.
Semua orang seolah-olah berlomba
untuk menjadi orang kaya seperti pendidik dan panutannya itu. Harta dan
kekuasaan pun menjadi idaman dan kepentingan setiap orang.
Dari idaman, harta dan kekuasaan,
naik menjadi pujaan, lalu menjadi kepentingan; kemudian menjadi Tuhan.
Ketika kepentingan duniawi menjadi Tuhan, maka Tuhan Yang Maha Esa pun
menjadi Kesetanan yang Maha Perkasa. Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab menjadi Kebinatangan yang Degil dan biadab. Persatuan Indonesia
menjadi Persetruan Indonesia. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawarata/perwakilan menjadi Kekuasaan yang
dipimpin oleh nikmat kepentingan dalam perkerabatan/perkawanan dan Keadilan
Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia pun menjadi Kelaliman sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Telusurilah semua perangai
aneh yang membuat kerusakan di negeri ini, seperti misalnya, penegak
hukum yang justru melecehkan hukum dan preman yang mengatur
keamanan atau mengatur pengadilan. Hal-hal yang
mengakibatkan hukum tidak dihargai, banyak orang main hakim sendiri,
dan kerugian negara yang tak terkira. Seperti juga pemimpin yang bertikai
dengan sesama pemimpin; wakil rakyat yang tak pernah memikirkan rakyat
dan hanya memikirkan diri sendiri; yang berakibat krisis kepercayaan. Maling
yang memegang jabatan-jabatan penting sehingga mengakibatkan
kerusakan dimana-mana. Belum lagi perangai-perangai ganjil
masyarakat kita seperti orang tua yang menjual anaknya
sendiri; menantu yang mencekik mertuanya; anak-anak yang bunuh diri;
dan sebagainya , dan seterusnya. Bila anda telusuri
perangai-perangai aneh yang berakibat buruk itu, akan
anda temukan bahwa yang mengatur semua itu adalah ‘tuhan’ yang namanya
kepentingan duniawi tersebut.
Maka menurut saya, kita perlu
–seperti pernah saya tulis belasan tahun yang lalu-- melakukan revolusi mental.
Mengembalikan konsep kita tentang kehidupan dunia ini seperti semula. Memandang
dunia dan materi ini biasa-biasa saja. Kalau pun menganggap penting, ya secara
proporsional. Tidak berlebih-lebihan. Kalau perlu kita –meniru para
Akademisi dan tokoh agama di Jawa Timur itu-- juga membuat gerakan.
Misalnya membuat Gerakan Hidup sederhana. Dengan meluncurkan kaos-kaos
dan pin-pin bertuliskan, misalnya: “Gerakan Hidup Sederhana. Stop Berlebih-lebihan
Menyintai Dunia dan Materi!”.
Bagaimana?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar