Sebagai hamba Allah SWT yang telah
berikrar ”tiada Tuhan selain Allah”, sebenarnya apa pun perintahNya, kita tidak
perlu dan tidak pantas bertanya-tanya mengapa, untuk apa?. Hamba yang baik
justru senantiasa ber-husnuzhzhan, berbaik sangka kepadaNya. Allah SWT
memerintahkan atau melarang sesuatu, pastilah untuk kepentingan kita. Karena
Allah SWT Maha Kaya, tidak memiliki kepentingan apa pun. Ia mulia bukan
karena dimuliakan; agung bukan karena diagungkan; berwibawa bukan karena
ditunduki. Sejak semula Ia sudah Mahamulia, sudah Mahaagung, sudah
Mahakaya, sudah Mahaberwibawa …
Kalau kemudian Ia menjelaskan
pentingnya melaksanakan perintahNya atau menjauhi laranganNya, semata-mata
karena Ia tahu watak kita yang suka mempertanyakan, yang selalu menonjolkan
kepentingan sendiri.
Maka sebelum kita mempertanyakan mengapa kita diperintahkan berpuasa, misalnya, Allah SWT telah berfirman:
”Ya ayyuhalladziina aamanuu kutiba ’alaikumush-shiyaamu...”(Q. 2. Al-Baqarah: 183) "Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan puasa atas kalian sebagaimana diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kalian, agar kalian bertakwa."
Hamba mukmin di dunia ini, dalam proses menuju ketakwaan kepada Allah SWT. Karena semua kebaikan hamba di dunia dan kebahagiaannya di akherat, kuncinya adalah ketakwaan kepadaNya. Mulai dari pujian Allah SWT, dukungan dan pertolonganNya, penjagaanNya, pengampunanNya, cintaNya, limpahan rezkiNya, pematutan amal dan penerimaanNya terhadapnya; hingga kebahagiaan abadi di sorga, ketakwaanlah kuncinya. (Baca misalnya, Q.3: 76, 120, 133, 186; Q.5:27; Q. 16: 128; Q. 19: 72; Q. 39: 61; Q. 65: 2-3; Q. 33: 70-71; Q. 49: 13).
Nah puasa, sebagaimana dijelaskan Allah SWT dalam ayat 183 Al-Baqarah di atas, merupakan sarana kita untuk mencapai ketakwaan yang berarti pada gilirannya meraih kebahagian di dunia dan akherat..
Takwa sendiri lebih sering diucapkan katimbang diterangkan. Ini barangkali karena banyaknya definisi. Intinya –sejalan dengan maknanya secara bahasa—ialah penjagaan diri. Penjagaan diri dari apa? Ada yang mengatakan penjagaan diri dari hukuman Allah dengan cara mentaatiNya. Ada yang mengatakan penjagaan diri dari mengabaikan perintah-perintah Allah dan melanggar larangan-laranganNya. Ada yang mengatakan penjagaan diri dari melakukan hal-hal yang menjauhkan dari Allah. Ada yang mengatakan penjagaan diri jangan sampai mengikuti hawa nafsu dan tergoda setan. Ada yang mengatakan penjagaan diri jangan sampai tidak mengikuti jejak Rasulullah SAW. Dan masih banyak lagi pendapat yang jika kita cermati, semuanya berujung pada satu makna. Perbedaannya hanya pada ungkapan tentang dari apa kita mesti menjaga diri.
Orang mukmin yang menjaga dirinya terhadap seretan hawa nafsunya dan atau godaan setan, berarti dia menjaga diri dari mengabaikan perintah-perintah Allah dan dari melakukan hal-hal yang dilarangNya; berarti dia menjaga diri agar tetap mengikuti jejak Rasullah SAW; berarti menjaga diri dari hukuman Allah dan dijauhkan dari-Nya.
Ibarat berjalan di ladang ranjau,
orang yang bertakwa senantiasa berhati-hati dan waspada terhadap hal-hal yang
dapat mencelakakannya. ‘Ranjau’ yang paling bahaya ialah yang paling tidak
terduga; seperti misalnya yang banyak menimpa sementara kaum beragama sendiri,
yakni nafsu terselubung. Seringkali setan menumpang nafsu dengan membisikkan
kepada yang bersangkutan bahwa yang menggelora dalam dirinya adalah “semangat
keagamaan” bukan “kobaran nafsu”; ‘semangat mengagungkan Tuhan” bukan “nafsu
mengagungkan diri sendiri”.
Puasa, seperti diketahui, bukanlah sekedar menahan diri untuk tidak makan dan tidak minum. Seandainya sekedar menahan diri dari makan dan minum pun sudah merupakan latihan untuk dapat menguasai dan menjaga diri karena Allah. Dalam puasa, melakukan dan tidak melakukan sesuatu karena Allah secara nalar jauh lebih mudah. Orang yang berpuasa karena orang, misalnya, bisa saja makan atau minum di siang hari secara sembunyi-sembunyi. Makan makanannya sendiri, minum minumannya sendiri, apa susahnya? Tapi untuk apa? Karena Allah-lah yang membuat orang mukmin bersedia menahan lapar, tidak makan makanannya sendiri; menahan haus, tidak minum minumannya sendiri.
Karena Allah ini tentu saja hanya bisa disikapi oleh mereka yang iman kepada Allah. Dan seukur tebal-tipis, besar-kecil, atau kuat-ringkihnya iman itulah, ketulusan orang yang melakukan atau tidakmelakukan sesuatu karena Allah. Di dalam puasa orang mukmin digembleng untuk menjadi mukmin yang kuat yang dapat menguasai dan menjaga diri. Mukmin yang lubuk hatinya, pikirannya, hingga pelupuk matanya, merupakan singgasana Allah; sehingga tidak mudah dibuat tergiur oleh iming-iming sesaat seperti hewan; tidak terjerumus berperilaku buas dan serakah seperti binatang. Mukmin sejati. Mukmin yang bertakwa kepada Allah. Bukan pengaku mukmin yang lubuk hatinya, pikirannya, hingga pelupuk matanya merupakan tempat mendekam hewan dan binatang buas; sehingga makan pun tidak peduli makan makanannya sendiri atau milik orang lain dan menunjukkan kehebatannya dengan menerkam kesana-kemari. Na’udzu billah min dzalik.
KH. Mustofa Bisri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar