1 / 3
belajar satu
2 / 3
belajar 2
3 / 3
Caption Three

Selasa, 24 Januari 2017

Gus Dur dan Deklarasi Tentang Hubungan Pancasila dengan Islam



Sebuah Catatan KH. Mustofa Bisri

Saat membicarakan Khitthah Nahdlatul Ulama dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama di Situbondo 16 Rabiul Awwal 1404 H / 21 Desember 1983,  ada 3 Sub Komisi Khitthah yang masing-masing dipimpin oleh KH. Tholchah Mansoer; Drs. Zamroni, dan H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) – rahimahumuLlah.

Gus Dur waktu itu memimpin Sub. Komisi Deklarasi yang membahas tentang Hubungan Pancasila dengan Islam. Dan Deklarasi di bawah inilah hasilnya:


***
Bismillahirrahmanirrahim
1.      Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
2.      Sila "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang Undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
3.      Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antara manusia.
4.      Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.
5.      Sebagai konsekwensi  dari sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekwen oleh semua pihak.

Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama
 Situbondo, 16 Rabiul Awwal 1404 H / 21 Desember 1983 M

***
Rapat untuk merumuskan Deklarasi di atas, hanya berlangsung singkat sekali. Pimpinan (H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur) membuka rapat dengan mengajak membaca AL-Fatihah. Lalu mengusulkan  bagaimana kalau masing-masing yang hadir menyampaikan pikirannya satu-persatu dan usul ini disetujui. Kemudian secara bergiliran masing-masing anggota Sub Komisi -- dr. Muhammad dari Surabaya; KH. Mukaffi Maki dari Madura; KH. Prof. Hasan dari Sumatera;  KH. Zarkawi dari Situbondo; dan . A. Mustofa Bisri dari Rembang —berbicara menyampaikan pikirannya berkaitan dengan Pancasila dan apa yang perlu dirumus-tuangkan dalam Deklarasi.

Setelah semuanya berbicara, Pimpinan pun menkonfirmasi apa yang disampaikan kelima anggota dengan membaca catatannya, lalu katanya: “Bagaimana kalau kelima hal ini saja yang kita jadikan rumusan?” Semua setuju. Pimpinan memukulkan palu. Dan rapat pun usai.

K. Kun Solahuddin yang diutus K. As’ad Samsul Arifin untuk ‘mengamati’ rapat, kemudian melapor ke K. As’ad. Ketika kembali menemui Pimpinan dan para anggota Sub Komisi, K. Kun mengatakan bahwa K. As’ad kurang setuju dengan salah satu redaksi dalam Deklarasi hasil rapat dan minta untuk diganti. Sub Komisi Khitthah pun mengutus A. Mustofa Bisri untuk menghadap dan berunding dengan K. As’ad. Hasilnya ialah Deklarasi di atas.

Yang masih menyisakan tanda tanya di benak saya selaku ‘saksi sejarah’, bagaimana Gus Dur bisa begitu cepat menyimpulkan semua yang disampaikan anggota Sub Komisi dan kelimanya –termasuk saya-- merasa bahwa kesimpulan yang dirumuskannya telah mencakup pikiran kami masing-masing. Dugaan saya, Gus Dur sudah “membaca” masing-masing pribadi kami dan karenanya  sudah tahu apa yang akan kami katakan berkenaan dengan Pancasila, lalu menuliskan kelima butir rumusan tersebut. Dugaan ini sama atau diperkuat dengan fenomena yang masyhur: ketika Gus Dur sanggup menanggapi dengan pas pembicaraan orang yang –padahal-- pada saat berbicara, Gus Dur tidur. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar