Abdul Munir Mulkhan ;
Guru Besar Fakultas Tarbiyah & Keguruan UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, Anggota Komnas HAM-RI
SINDO, 6 Juni 2012
Melihat kekerasan yang dialami warga Ahmadiyah di berbagai tempat,
pengikut Syiah di Sampang, jemaat gereja Philadelpia di Bekasi dan Yasmin di
Bogor, orang gampang membuat kesimpulan ada gejala intoleransi di negeri ini.
Belakangan ini juga muncul kekerasan atas nama kebenaran suatu agama
terhadap seseorang yang dipandang memiliki pandangan berbeda seperti dalam
kasus diskusi buku yang ditulis Irsyad Manji. Karya seni pun tidak luput dari
sergapan atas nama moralitas keagamaan baku nan suci sehingga konser Lady Gaga
harus dibatalkan. Karena menyangkut warga negara lain, persoalan ini berkembang
menjadi wacana internasional. Persoalannya, bagaimana menjelaskan semua itu
dari tuduhan bahwa bangsa ini menjadi intoleran?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penting bagi kita melihat secara
lebih jernih agar kesimpulan yang kita ambil untuk menjawab pertanyaan tersebut
bukan hanya lebih mendekati kenyataan di lapangan, melainkan juga lebih
memuaskan secara intelektual. Seorang teman segera menyahut menimpali rembuk
saat diajak untuk secara lebih jernih melihat permasalahan tersebut.
“Bagaimana bisa diambil kesimpulan lain selain bangsa ini secara
faktawi memang intoleran, jika melihat fakta-fakta kekerasan yang dialami warga
Ahmadiyah di Lombok dan berbagai tempat di Jawa Barat seperti warga Kristiani
di kawasan yang sama serta kekerasan terhadap warga Syiah di Sampang, dan
panitia diskusi Irsyad Manji dan Irsyad Manji sendiri?” Setengah geram agar
meyakinkan lawan bicaranya, teman itu mengajukan pertanyaan balik. Secara
kefilsafatan, sebagai dasar filsafat negara sila-sila Pancasila menjadi
bermakna jika dilihat dalam kesatuan sistematis dan sintesisnya.
Hal itu berarti bahwa makna Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa
haruslah melibatkan keempat sila lainnya. Karena itu, paham dan praktik
keagamaan secara niscaya manusiawi, adil, dan beradab, dalam pengertian yaitu
dengan memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan yang secara faktawi bersifat
plural sesuai latar belakang sosio-budaya pada masing-masing kelompok
intrapemeluk agama, dan antarpemeluk agama. Adil dalam pengertian bahwa
memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan yang plural itu dilakukan secara
proporsional dengan penuh keadaban.
Di lapangan, secara primordial, dalam arti hubungan tradisional orang
per orang tanpa campur tangan organisasi modern, kita menyaksikan sikap terbuka
masyarakat dalam menerima kenyataan plural dalam keragaman keagamaan misalnya
dalam bertetangga, dalam merespons bencana atau kecelakaan yang dialami
seseorang tanpa melihat latar belakang keagamaannya.
Namun, menjadi berbeda saat hubungan sosial itu semakin luas
melibatkan organisasi modern seperti jemaat gereja, atau jamaah masjid, atau
sekelompok orang yang tergabung dalam suatu organisasi dari gerakan-gerakan tertentu
yang hidup dalam masyarakat. Muncul suatu jarak di antara fakta primordial
dalam ranah privat dengan fakta sosial yang dibangun berdasar logika modern.
Nilai-nilai luhur yang hidup dalam ranah tradisional dan primordial kehidupan
privat itu seperti terputus dan terbelah ketika memasuki ranah publik.
Fakta kehidupan privat itu bisa kita saksikan di berbagai daerah dalam
beragam masyarakat, di kota atau di kawasan pedesaan. Sementara kenyataan
keterbelahan nilai-nilai luhur pada ranah publik yang melibatkan lembaga modern
itu memang ada, namun terbatas pada wilayah-wilayah yang melibatkan sekelompok
elite dengan pemahaman yang berbeda dari pemahaman di akar rumput. Ironisnya,
lapisan elite inilah yang selama ini menjadi juru bicara tunggal logika modern
keberagamaan yang dengannya para pengikut hampir tidak memiliki pilihan, ketika
wacana keberagamaan modern berada pada hegemoni kelas elite tersebut.
Situasi demikian menjadi lebih dahsyat pada saat pelaku praktik
kenegaraan dan pemerintahan lebih mempertimbangkan kepentingan politik daripada
nilai-nilai luhur Pancasila yang hidup dalam ranah tradisional dan primordial
tersebut. Atas nama demokrasi, sebuah kekuasaan seperti tersandera pada citra
yang dibangun kelas elite yang dengan kuasanya mempergunakan media modern untuk
“memaksa” masyarakat awam mengikuti jalan pikirannya atau mereka akan terancam
sangsi-sangsi teologis.
Jadilah suara sekelompok orang yang dengan piawai mengatasnamakan
publik yang luas “menyandera” penguasa sehingga penguasa tersebut memenuhi
kepentingannya. Jika tidak demikian, sang penguasa itu akan dihujat sebagai
pelanggar tata krama ketuhanan menurut tafsir sang elite itu sendiri sehingga
elektabilitasnya menurun dan partai yang berada di belakang sang penguasa bisa
kehilangan pengikutnya. Sebenarnya masyarakat pada ranah primordial dan
tradisional memiliki cara sendiri untuk menyelesaikan persoalan yang mereka
hadapi yang lebih santun dan beradab, bukan dengan jalan kekerasan.
Kekerasan intoleran yang muncul dalam beragam kasus tidaklah
serta-merta menjadi petunjuk bagi intolerannya dari karakter bangsa, melainkan
ketidakhadiran pelaku negara dan pemerintahan untuk bertindak berdasar basis
primordial filsafat dasar negara Pancasila. Bangsa ini memiliki akar primordial
ideologi negara yang hidup bersama kehidupan rakyat di luar peta sistem
kelembagaan modern. Soalnya, bagaimana nilai-nilai luhur yang sudah dan terus
hidup dalam kehidupan rakyat pada ranah privat itu menjadi sumber inspirasi
dari tiap rumusan hukum dan perundang-undangan serta peraturan legal.
Lembaga modern, negara, pemerintahan, organisasi politik, serta
kemasyarakatan memang membutuhkan rasionalitas modern. Masalahnya, tanpa
jangkar nilai-nilai luhur yang lestari dalam kehidupan rakyat, kerja dari
lembaga modern itu justru akan membuat bangsa ini berada dalam dinamika global
seperti pepatah “bagai layar-layang putus tali”. Jika demikian, bangsa ini bisa
terombang- ambing dalam tarikan berbagai kepentingan kekuasaan global seperti
juga keterjebakan pelaku negara dan pemerintahan dalam wacana beku dan baku
absolut yang dikontrol oleh sekelompok elite dengan kepentingannya sendiri.
Jika jangkar bangsa ini ialah fakta kerakyatan, kita bisa menyimpulkan
bahwa karakter bangsa ini tetap lestari mempraktikkan nilai-nilai luhur
toleransi sebagaimana maksud dasar filsafat negara tersebut. Problem
intoleransi justru terletak pada lembaga modern dengan rasionalitas tinggi
seperti partai politik, organisasi gerakan keagamaan, termasuk negara dan
birokrasi pemerintahan, serta lapisan elite yang lahir dari lembaga-lembaga
modern tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar