A. Mustofa Bisri (Jawa
Pos, 15 Januari 2012)
Masya Allah! Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun!
Tidak mungkin, tidak mungkin! Kang Maksum? Ah….
BERITA itu cepat
beredar. Berita yang benar-benar mengguncang kotaku. Di mana-mana—di pasar, di
warung-warung, di perkantoran, di sekolah-sekolah—berita itu mendominasi
pembicaraan. Seperti biasa, orang-orang pun asyik menduga-duga dan
menganalisis.
Waktu itu media massa cetak dan elektronik belum seperti sekarang.
Seandainya itu terjadi sekarang, pastilah beritanya akan menjadi santapan gurih
pers. Akan menjadi perbincangan berhari-hari di media massa. Tinjauan dari
berbagai sudut dan aspek pun akan ramai dilontarkan para pakar dan narasumber
yang sengaja diundang.
Untunglah, waktu itu pers belum seperti sekarang. Jadi, aku masih bisa
menghindar dari pembicaraan tentang berita itu. Berhari-hari aku sengaja tidak
keluar rumah agar tidak mendengar orang membicarakan berita itu. Rasanya, aku
belum bisa menerima hal itu terjadi pada diri Kang Maksum.
Tapi, bagaimana menghindar dari pembicaraan tentang peristiwa yang begitu
dahsyat? Tidak keluar rumah pun, pembicaraan peristiwa itu terus seperti
menguntit dan menerorku. Seisi rumah seperti tidak pernah bosan dengan topik
itu. Akhirnya, aku menyerah. Menerima kenyataan dan, meski sangat pahit,
berusaha wajar menyikapi peristiwa yang mengguncang itu.
Kang Maksum meninggal. Itu saja sudah mengejutkan. Selama di pondok
pesantren, saya belum pernah mendengar Kang Maksum sakit meskipun sekadar
pilek. Dia tipe orang yang begitu perhatian menjaga kesegaran badannya. Setiap
pagi dan sore, pada saat mandi, Kang Maksum tidak hanya menimba–dengan timba
model senggot yang beratnya masya Allah—untuk dirinya sendiri. Dia
sengaja juga mengisi kulah-kulah untuk kawan-kawan lain, terutama santri-santri
kecil yang tak kuat menimba seperti saya. Dia mengatakan bahwa apa yang
dilakukannya itu tidak untuk kepentingannya sendiri. “Ini membuat badanku
sehat,” katanya.
Ah, Kang Maksum!
Terbayang olehku wajah Kang Maksum yang ganteng, yang selalu bersih seperti
baru saja mandi. Masih terngiang-ngiang bicaranya yang lembut dan suaranya yang
merdu bila membaca ayat-ayat Alquran atau membaca kasidah Al Barzanji. Tidak
mungkin, tidak mungkin! Kang Maksum? Ah….
Kang Maksumlah yang mengajariku qiraah; mengenalkanku kepada
nada-nada bayati, sika, dan hijazi di pesantren. Kang Maksum juga
yang sering memberiku ijazah doa-doa dan berbagai wirid; mulai doa dan
wirid agar mudah menghafal, agar tenang menghadapi setiap orang, agar hati tenteram,
hingga doa aneh agar dapat melihat jin.
Di pesantren kami, Kang Maksum memang dikenal sebagai santri senior yang
memiliki suara merdu setiap malam Jumat saat berjanjenan, acara
bersama-sama ber-shalawat nabi dengan membaca karya madah Syekh Jakfar
Al Barzanji, santri-santri selalu menunggu-nunggu giliran Kang Maksum membaca
kasidah-kasidahnya. Terutama, saat melantunkan kasidah yang dimulai dengan “Ya
Rabbi shalli ‘alaa Muhammad, ya Rabbi shalli ‘alaihi wa sallim” atau “Ya
Rasulullah salaamun ‘alaik, ya Rafi’asyaani wad-darajati.” Santri-santri
lain yang kemudian bersemangat menyahuti lantunan itu berusaha ngepas-ngepaskan
suara mereka dengan irama lantunan Kang Maksum. Tapi mana mungkin. Di
samping merdu, cengkok lagu Kang Maksum memang sulit ditiru.
Di samping seni suara, Kang Maksum juga dikenal sebagai pendekar silat yang
lihai dan digdaya. Konon, dia punya aji lembu sekilan yang membuatnya
terbentengi dari pukulan dan aji welut putih yang membuatnya sulit
ditangkap. Setiap pesantren mengadakan perayaan, seperti mauludan dan khataman,
dan ada atraksi pencak silat, Kang Maksum yang mandegani, yang mengatur
siapa-siapa yang tampil. Siapa-siapa yang tampil dan untuk silat keseimbangan;
siapa yang tampil melawan siapa.
Biasanya, di akhir pertunjukan, Kang Maksum sendiri yang tampil
mendemonstrasikan kepiawaiannya. Itulah yang paling ditunggu-tunggu penonton.
Dengan gerakan tubuhnya yang ringan, Kang Maksum meloncat ke arena panggung.
Pertama-tama, diperagakan kejadukannya dengan menghantamkan batu kali sebesar
gentong atau pedang tajam ke punggungnya—yang sedikit pun tidak membuat goyah
kuda-kudanya. Kemudian, dengan gagah dan lincah, Kang Maksum tidak hanya
memamerkan jurus-jurus istimewanya, tapi juga memainkan berbagai senjata tajam,
seperti pedang, tombak, dan trisula.
Sebenarnya banyak santri yang ingin belajar silat dan kejadukan Kang
Maksum. Tapi, kebanyakan tidak kuat melakukan tirakatnya. Kalau, misalnya,
hanya puasa seperti biasa, pasti banyak yang mampu. Ini tidak. Ada puasa mutih,
puasa dengan berbuka nasi saja, tidak pakai lauk apa pun, selama 7 hari
atau 40 hari. Ada puasa ngebleng, puasa sehari semalam tanpa buka. Ada
puasa pati geni, tidak hanya puasa sehari semalam tanpa buka, tapi juga
tanpa tidur. Bayangkan!
Kang Maksum sendiri memang ahli tirakat. Sejak entah umur berapa, konon
sejak kecil dia ngrowod. Bukan hanya puasa ndaud, sehari puasa
sehari buka, tapi ndaud dengan berbuka hanya umbi-umbian atau bulgur.
Sudah ngrowod begitu, setiap buka—kadang-kadang juga setiap sahur—Kang
Maksum makannya tidak lebih dari selapik cangkir.
***
Kelihatan sekali Kang Sofwan—seniorku dan kawan akrab Kang Maksum di pondok
pesantren—terburu-buru. Dengan singkat dia menyampaikan berita itu. “Cepat
sampean berpakaian,” katannya memerintah. “Kita ke sana sekarang.” Aku masih
terguncang. Laa hawla walaa quwwata illa billah. Bagaimana mungkin hal
itu terjadi? Kang Maksum? Ah, rasanya tidak masuk akal.
“Cepat!” hardik Kang Sofwan tidak sabar.
Sampai di rumah Kang Maksum, kami lihat sudah banyak orang yang datang.
Beberapa di antaranya duduk-duduk di halaman dan sebagian lain, yang kebanyakan
kaum perempuan, berada di dalam rumah. Semuanya diam atau berbisik-bisik.
Sesekali isak tangis terdengar meningkahi bagai irama gaib. Mbah Ghazali, modin
paling tua di tempat kami, baru selesai melakukan tugasnya.
***
Siapa yang pernah membayangkan? Kang Maksum meninggal terlindas kereta api!
Tubuhnya menjadi tiga bagian! La hawla wala quwwata illa billah!
Hanya karena kelihaian Mbah Modin Ghazalli, jenazah itu dapat
dipertautrapikan. Tapi, kebuncahan hati ini? Ah.
Berita itu cepat beredar. Berita yang benar-benar mengguncang
kotaku. Di mana-mana—di pasar, di warung-warung, di perkantoran, di
sekolah-sekolah—berita itu mendominasi pembicaraan. Seperti biasa, orang-orang
pun asyik menduga-duga dan menganalisis. Waktu itu media massa cetak dan
elektronik belum seperti sekarang. Seandainya itu terjadi sekarang, pastilah
beritanya akan menjadi santapan gurih pers. Akan menjadi perbincangan
berhari-hari di media massa. Tinjauan dari berbagai sudut dan aspek pun akan
ramai dilontarkan para pakar dan narasumber yang sengaja diundang.
Untunglah, waktu itu pers belum seperti sekarang. Jadi, aku masih bisa
menghindar dari pembicaraan tentang berita itu. Berhari-hari aku sengaja tidak
keluar rumah agar tidak mendengar orang membicarakan berita itu. Rasanya, aku
belum bisa menerima hal itu terjadi pada diri Kang Maksum.
Tapi, bagaimana menghindar dari pembicaraan tentang peristiwa yang begitu
dahsyat? Tidak keluar rumah pun, pembicaraan peristiwa itu terus seperti
menguntit dan menerorku. Seisi rumah seperti tidak pernah bosan dengan topik
itu. Akhirnya, aku menyerah. Menerima kenyataan dan, meski sangat pahit,
berusaha wajar menyikapi peristiwa yang mengguncang itu.
Melihat tubuh Kang Maksum yang demikian, orang sulit mengatakan bahwa
peristiwa tragis yang menimpanya itu merupakan kecelakaan.
Lalu? Pasti bunuh diri. Begitu kesimpulan orang-orang yang tidak mengenal
Kang Maksum memastikan. Namun, bagi yang mengenalnya, seperti aku dan Kang
Sofwan, bunuh diri adalah hal yang paling mustahil dilakukan oleh Kang Maksum.
Di samping cukup memiliki pengetahuan agama, Kang Maksum orang yang
mencintai kehidupan.
Kah Zuhdi, alumnus pesantren kami yang lebih senior daripada Kang Maksum
dan Kang Sofwan, mencoba meyakinkan bahwa almarhum Kang Maksum memang sengaja
membiarkan dirinya dilindas kereta api untuk menjajal “ilmu”.
“Aku dengar, sebelumnya Kang Maksum pernah membiarkan dirinya ditabrak
sepeda, motor, dokar, dan truk. Dan, sejauh itu, dia selamat-selamat saja, tak
kurang suatu apa.”
“Jadi,” lanjut Kang Zuhdi, “kemungkinan besar itu merupakan kelanjutan dari
uji coba tataran ilmu kekebalan Kang Maksum. Sayang, rupanya kali ini tidak
berhasil.”
Mungkin banyak yang menerima kesimpulan Kang Zuhdi
itu. Tapi, aku dan Kang Sofwan, yang sedaerah dan kenal baik dengan Kang Maksum
serta keluarganya, tetap tak bisa menerima. Tak ingin menerima. Tapi. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar