1 / 3
belajar satu
2 / 3
belajar 2
3 / 3
Caption Three

Selasa, 24 Januari 2017

Kang Maksum



A.    Mustofa Bisri (Jawa Pos, 15 Januari 2012)
Masya Allah! Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun!
Tidak mungkin, tidak mungkin! Kang Maksum? Ah….
BERITA itu cepat beredar. Berita yang benar-benar mengguncang kotaku. Di mana-mana—di pasar, di warung-warung, di perkantoran, di sekolah-sekolah—berita itu mendominasi pembicaraan. Seperti biasa, orang-orang pun asyik menduga-duga dan menganalisis.
Waktu itu media massa cetak dan elektronik belum seperti sekarang. Seandainya itu terjadi sekarang, pastilah beritanya akan menjadi santapan gurih pers. Akan menjadi perbincangan berhari-hari di media massa. Tinjauan dari berbagai sudut dan aspek pun akan ramai dilontarkan para pakar dan narasumber yang sengaja diundang.

Untunglah, waktu itu pers belum seperti sekarang. Jadi, aku masih bisa menghindar dari pembicaraan tentang berita itu. Berhari-hari aku sengaja tidak keluar rumah agar tidak mendengar orang membicarakan berita itu. Rasanya, aku belum bisa menerima hal itu terjadi pada diri Kang Maksum.
Tapi, bagaimana menghindar dari pembicaraan tentang peristiwa yang begitu dahsyat? Tidak keluar rumah pun, pembicaraan peristiwa itu terus seperti menguntit dan menerorku. Seisi rumah seperti tidak pernah bosan dengan topik itu. Akhirnya, aku menyerah. Menerima kenyataan dan, meski sangat pahit, berusaha wajar menyikapi peristiwa yang mengguncang itu.
Kang Maksum meninggal. Itu saja sudah mengejutkan. Selama di pondok pesantren, saya belum pernah mendengar Kang Maksum sakit meskipun sekadar pilek. Dia tipe orang yang begitu perhatian menjaga kesegaran badannya. Setiap pagi dan sore, pada saat mandi, Kang Maksum tidak hanya menimba–dengan timba model senggot yang beratnya masya Allah—untuk dirinya sendiri. Dia sengaja juga mengisi kulah-kulah untuk kawan-kawan lain, terutama santri-santri kecil yang tak kuat menimba seperti saya. Dia mengatakan bahwa apa yang dilakukannya itu tidak untuk kepentingannya sendiri. “Ini membuat badanku sehat,” katanya.
Ah, Kang Maksum!
Terbayang olehku wajah Kang Maksum yang ganteng, yang selalu bersih seperti baru saja mandi. Masih terngiang-ngiang bicaranya yang lembut dan suaranya yang merdu bila membaca ayat-ayat Alquran atau membaca kasidah Al Barzanji. Tidak mungkin, tidak mungkin! Kang Maksum? Ah….
Kang Maksumlah yang mengajariku qiraah; mengenalkanku kepada nada-nada bayati, sika, dan hijazi di pesantren. Kang Maksum juga yang sering memberiku ijazah doa-doa dan berbagai wirid; mulai doa dan wirid agar mudah menghafal, agar tenang menghadapi setiap orang, agar hati tenteram, hingga doa aneh agar dapat melihat jin.
Di pesantren kami, Kang Maksum memang dikenal sebagai santri senior yang memiliki suara merdu setiap malam Jumat saat berjanjenan, acara bersama-sama ber-shalawat nabi dengan membaca karya madah Syekh Jakfar Al Barzanji, santri-santri selalu menunggu-nunggu giliran Kang Maksum membaca kasidah-kasidahnya. Terutama, saat melantunkan kasidah yang dimulai dengan “Ya Rabbi shalli ‘alaa Muhammad, ya Rabbi shalli ‘alaihi wa sallim” atau “Ya Rasulullah salaamun ‘alaik, ya Rafi’asyaani wad-darajati.” Santri-santri lain yang kemudian bersemangat menyahuti lantunan itu berusaha ngepas-ngepaskan suara mereka dengan irama lantunan Kang Maksum. Tapi mana mungkin. Di samping merdu, cengkok lagu Kang Maksum memang sulit ditiru.
Di samping seni suara, Kang Maksum juga dikenal sebagai pendekar silat yang lihai dan digdaya. Konon, dia punya aji lembu sekilan yang membuatnya terbentengi dari pukulan dan aji welut putih yang membuatnya sulit ditangkap. Setiap pesantren mengadakan perayaan, seperti mauludan dan khataman, dan ada atraksi pencak silat, Kang Maksum yang mandegani, yang mengatur siapa-siapa yang tampil. Siapa-siapa yang tampil dan untuk silat keseimbangan; siapa yang tampil melawan siapa.
Biasanya, di akhir pertunjukan, Kang Maksum sendiri yang tampil mendemonstrasikan kepiawaiannya. Itulah yang paling ditunggu-tunggu penonton. Dengan gerakan tubuhnya yang ringan, Kang Maksum meloncat ke arena panggung. Pertama-tama, diperagakan kejadukannya dengan menghantamkan batu kali sebesar gentong atau pedang tajam ke punggungnya—yang sedikit pun tidak membuat goyah kuda-kudanya. Kemudian, dengan gagah dan lincah, Kang Maksum tidak hanya memamerkan jurus-jurus istimewanya, tapi juga memainkan berbagai senjata tajam, seperti pedang, tombak, dan trisula.
Sebenarnya banyak santri yang ingin belajar silat dan kejadukan Kang Maksum. Tapi, kebanyakan tidak kuat melakukan tirakatnya. Kalau, misalnya, hanya puasa seperti biasa, pasti banyak yang mampu. Ini tidak. Ada puasa mutih, puasa dengan berbuka nasi saja, tidak pakai lauk apa pun, selama 7 hari atau 40 hari. Ada puasa ngebleng, puasa sehari semalam tanpa buka. Ada puasa pati geni, tidak hanya puasa sehari semalam tanpa buka, tapi juga tanpa tidur. Bayangkan!
Kang Maksum sendiri memang ahli tirakat. Sejak entah umur berapa, konon sejak kecil dia ngrowod. Bukan hanya puasa ndaud, sehari puasa sehari buka, tapi ndaud dengan berbuka hanya umbi-umbian atau bulgur. Sudah ngrowod begitu, setiap buka—kadang-kadang juga setiap sahur—Kang Maksum makannya tidak lebih dari selapik cangkir.
***
Kelihatan sekali Kang Sofwan—seniorku dan kawan akrab Kang Maksum di pondok pesantren—terburu-buru. Dengan singkat dia menyampaikan berita itu. “Cepat sampean berpakaian,” katannya memerintah. “Kita ke sana sekarang.” Aku masih terguncang. Laa hawla walaa quwwata illa billah. Bagaimana mungkin hal itu terjadi? Kang Maksum? Ah, rasanya tidak masuk akal.
“Cepat!” hardik Kang Sofwan tidak sabar.
Sampai di rumah Kang Maksum, kami lihat sudah banyak orang yang datang. Beberapa di antaranya duduk-duduk di halaman dan sebagian lain, yang kebanyakan kaum perempuan, berada di dalam rumah. Semuanya diam atau berbisik-bisik. Sesekali isak tangis terdengar meningkahi bagai irama gaib. Mbah Ghazali, modin paling tua di tempat kami, baru selesai melakukan tugasnya.
***
Siapa yang pernah membayangkan? Kang Maksum meninggal terlindas kereta api! Tubuhnya menjadi tiga bagian! La hawla wala quwwata illa billah!
Hanya karena kelihaian Mbah Modin Ghazalli, jenazah itu dapat dipertautrapikan. Tapi, kebuncahan hati ini? Ah.
Berita itu cepat beredar. Berita yang benar-benar mengguncang kotaku. Di mana-mana—di pasar, di warung-warung, di perkantoran, di sekolah-sekolah—berita itu mendominasi pembicaraan. Seperti biasa, orang-orang pun asyik menduga-duga dan menganalisis. Waktu itu media massa cetak dan elektronik belum seperti sekarang. Seandainya itu terjadi sekarang, pastilah beritanya akan menjadi santapan gurih pers. Akan menjadi perbincangan berhari-hari di media massa. Tinjauan dari berbagai sudut dan aspek pun akan ramai dilontarkan para pakar dan narasumber yang sengaja diundang.
Untunglah, waktu itu pers belum seperti sekarang. Jadi, aku masih bisa menghindar dari pembicaraan tentang berita itu. Berhari-hari aku sengaja tidak keluar rumah agar tidak mendengar orang membicarakan berita itu. Rasanya, aku belum bisa menerima hal itu terjadi pada diri Kang Maksum.
Tapi, bagaimana menghindar dari pembicaraan tentang peristiwa yang begitu dahsyat? Tidak keluar rumah pun, pembicaraan peristiwa itu terus seperti menguntit dan menerorku. Seisi rumah seperti tidak pernah bosan dengan topik itu. Akhirnya, aku menyerah. Menerima kenyataan dan, meski sangat pahit, berusaha wajar menyikapi peristiwa yang mengguncang itu.
Melihat tubuh Kang Maksum yang demikian, orang sulit mengatakan bahwa peristiwa tragis yang menimpanya itu merupakan kecelakaan.
Lalu? Pasti bunuh diri. Begitu kesimpulan orang-orang yang tidak mengenal Kang Maksum memastikan. Namun, bagi yang mengenalnya, seperti aku dan Kang Sofwan, bunuh diri adalah hal yang paling mustahil dilakukan oleh Kang Maksum.
Di samping cukup memiliki pengetahuan agama, Kang Maksum orang yang mencintai kehidupan.
Kah Zuhdi, alumnus pesantren kami yang lebih senior daripada Kang Maksum dan Kang Sofwan, mencoba meyakinkan bahwa almarhum Kang Maksum memang sengaja membiarkan dirinya dilindas kereta api untuk menjajal “ilmu”.
“Aku dengar, sebelumnya Kang Maksum pernah membiarkan dirinya ditabrak sepeda, motor, dokar, dan truk. Dan, sejauh itu, dia selamat-selamat saja, tak kurang suatu apa.”
“Jadi,” lanjut Kang Zuhdi, “kemungkinan besar itu merupakan kelanjutan dari uji coba tataran ilmu kekebalan Kang Maksum. Sayang, rupanya kali ini tidak berhasil.”
Mungkin banyak yang menerima kesimpulan Kang Zuhdi itu. Tapi, aku dan Kang Sofwan, yang sedaerah dan kenal baik dengan Kang Maksum serta keluarganya, tetap tak bisa menerima. Tak ingin menerima. Tapi. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar