A Mustofa Bisri (Kompas, 15 April 2012)
RIBUAN bahkan puluhan
ribu pelayat dari berbagai kota yang menangis itu, tampaknya tak seorang pun
yang datang berniat menghiburku.
Mereka semua melayat diri mereka sendiri. Hanya orangtuaku dan beberapa
orang famili yang terus menjagaku agar aku tidak pingsan seperti banyak santri
yang sama sekali tidak siap ditinggal almarhum.
Almarhum sejak selesai dimandikan dan dikafani, sudah sepenuhnya milik
mereka para pelayat diri sendiri itu. Mereka bawa almarhum ke mesjid yang sudah
penuh sesak untuk mereka sembahyangi. Aku setengah sadar mengikuti upacara
pelepasan jenazah. Kiai Salman, sahabat almarhum, yang memberi sambutan atas
nama keluarga. Lalu beberapa kiai dari berbagai daerah memanjatkan doa; tapi
aku tak tahu persis siapa-siapa mereka. Aku hanya asal mengamini.
Hari berikutnya dan berikutnya, banjir jama’ah laki-laki perempuan tak
susut meluapi makam dan mesjid pesantren kami. Alunan tahlil dan doa seolah tak
pernah putus dari pagi hingga malam hari. Mereka meratapi kepergian almarhum
yang selama ini mereka anggap guru dan bapak. Sandaran mereka.
***
Kiai Sobir atau yang popular dipanggil Mbah Sobir adalah sesepuh dalam arti
yang sebenarnya di wilayah kabupaten kami dan sekitarnya. Di samping mengasuh
pesantren dengan ratusan santri laki-laki perempuan, beliau secara de facto
juga mengasuh dan melayani ribuan ‘santri kalong’. Mereka yang tidak tinggal
menetap di pesantren, tapi selalu datang untuk mengikuti pengajian rutin beliau
atau yang sekadar sowan dengan berbagai keperluan. Belum lagi mereka
yang datang dari tempat-tempat yang jauh. Bahkan banyak sekali pejabat dari
tingkat provinsi dan pusat yang menyempatkan diri sowan kiai sepuh yang
sederhana ini.
Dalam hal menerima tamu, pastilah tak ada yang dapat menandingi Kiai Sobir.
Hampir setiap hari dari pagi hingga malam, ndalem [1] beliau tak pernah
sepi dari tamu, baik yang datang perorangan atau—kebanyakan—berombongan. Bahkan
tidak jarang rombongan tamu datang tengah malam. Dan ‘peraturannya’, setiap
tamu yang datang harus makan.
Ruang tamu ndalem beliau yang sederhana, didominasi oleh dua
bale-bale besar dari bambu dialasi tikar pandan. Ada bangku memanjang tempat
Mbah Sobir duduk dan—biasanya dengan—kiai atau tamu sepuh yang diajak duduk
bersama beliau. Di depannya ada meja kuno yang selalu penuh dengan makanan,
dikelilingi beberapa kursi yang tidak seragam. Di atas dua bale-bale besar
itulah biasanya santri-santri ndalem dengan sigap mengatur hidangan
untuk makan para tamu.
Kiai Sobir tidak membedakan siapa-siapa yang datang kepada beliau. Siapa
pun tamunya, pejabat tinggi atau rakyat jelata; laki-laki atau perempuan; dari
kalangan santri atau tidak; beliau terima dengan gembira dan penuh
penghormatan. Telinga beliau dengan sabar menampung segala keluhan, curahan hati,
bahkan bualan tamu-tamunya yang beragam. Di hadapan beliau, semua orang merasa
benar-benar menjadi manusia yang merdeka. Manusia yang dimanusiakan.
Maka mereka pun tak segan-segan mengutarakan keperluan-keperluan mereka.
Mulai dari mengundang ceramah, hingga mengundang untuk peletakan batu pertama
pembangunan mesjid atau madrasah. Mulai dari minta doa restu, hingga minta
utangan. Dari minta air suwuk [2] untuk anak yang rewel, hingga minta
nasihat perkawinan. Dari minta dicarikan jodoh, hingga minta dicarikan mantu.
Dari minta arahan menggarap sawah, hingga minta dukungan untuk pilkada. Dari
minta fatwa keagamaan, hingga minta bantuan kenaikan pangkat .
Maka tak heran bila kepergian Kiai Sobir mendapat perhatian yang begitu
luas.
***
Semua perhatian hanya tertuju kepada almarhum bahkan sampai peringatan
wafat beliau yang ke-40. Empati hanya tertuju kepada mereka sendiri yang merasa
kehilangan Kiai Sobir. Aku terlupakan sama sekali. Aku adalah istri almarhum
yang selama ini mereka panggil Nyai Sobir. Perempuan yang kemarin-kemarin juga
mereka perhatikan dan hormati bersama almarhum. Perempuan yang mendampingi
beliau sejak nyai sepuh wafat hingga akhir hayat beliau.
Akulah yang selama ini mengatur keperluan-keperluan pribadi abah (begitu
aku selalu memanggil beliau) sehari-hari; mulai potong rambut hingga pakaian
yang abah kenakan. Akulah yang mengatur jadwal abah; kapan mendatangi
undangan-undangan dan kapan mesti istirahat. Akulah juga yang mengatur agar
mereka yang sowan tidak ada yang terlantar. Semua harus disuguh makan
seperti yang dikehendaki abah.
Peringatan 40 hari wafat almarhum abah, banjir manusia kembali meluapi
kawasan pesantren kami. Setelah itu barulah pengunjung yang berziarah agak
menyusut. Aku tidak tahu apakah orang-orang mulai mengingatku sebagai Nyai
Sobir pendamping kiai mereka atau tidak; yang jelas aku sendiri teringat saat
nyai sepuh, istri abah yang pertama wafat. Teringat beberapa bulan kemudian aku
yang kala itu nyantri di pesantren abah dan baru berumur 20 tahun, dipinang
abah melalui seorang tokoh masyarakat di desaku.
Ketika kemudian orangtuaku—yang juga termasuk santri kiai abah—menyampaikan
pinangan itu, aku tak bisa berkata apa-apa. Perasaanku campur aduk tidak
karuan. Kaget, tidak percaya, bangga, dan entah apa lagi. Tapi karena kedua
orangtuaku sepertinya mendukung, aku pun akhirnya ikut saja seperti kerbau
dicocok hidung. Walhasil jadilah aku Nyai Sobir. Istri seorang kiai besar yang
dihormati tidak hanya di wilayah kota kami saja. Kiai yang bila ada pembesar
datang dari ibu kota, tidak pernah terlewatkan dikunjungi dengan segala
penghormatan.
Sebagai pendamping kiai sekaliber abah, aku mempunyai sedikit modal. Di
samping berwajah lumayan, aku hafal Al-Quran dan di pesantren bagian puteri,
aku menjabat sebagai pengurus inti. Ditambah lagi, berkat latihan setiap malam
Selasa di pesantren, aku sedikit bisa berpidato. Maka tidak lama, aku sudah
benar-benar bisa menyesuaikan diri. Masyarakat pun tampaknya sudah benar-benar
memandangku sebagai nyai yang pantas mendampingi Kiai Sobir. Bahkan sesekali
aku diminta panitia mewakili abah mengisi pengajian.
Dari sisi lain; perasaanku terhadap abah yang semula lebih kepada
menghormati, berangsur menjadi menyintai beliau. Apalagi abah begitu baik dan
bijaksana sikapnya terhadap diriku yang dari segi umur terpaut sangat jauh.
Abah tahu bahwa aku masih muda dengan pikiran dan keinginan-keinginan anak
muda. Abah tidak pernah melarangku misalnya melihat televisi atau mendengar
lagu-lagu dari radio. Paling-paling beliau hanya mengingatkan supaya aku tidak
melupakan tugas-tugas.
Peringatan 100 hari wafat abah, kemudian 1 tahun, kemudian peringatan haul
beliau setiap tahun (sekarang sudah haul yang ke-7), terus ramai dibanjiri
ribuan orang dari berbagai penjuru. Aku terlupakan atau tidak oleh mereka. Tapi
aku benar-benar terus merasa sendirian.
***
Abah, apakah di sana abah masih memperhatikanku seperti dulu? Aku kini
benar-benar sendirian, abah. Sendirian. Alangkah cepatnya waktu. Alangkah
singkatnya kebersamaan kita. Kini tak ada laki-laki yang kuurus sehari-hari.
Tidak ada orang yang selalu memperhatikanku, yang menasihati dan memarahiku.
Dan persis seperti kata Titik Puspa dalam salah satu tembangnya. Tidak ada lagi
tempat bermanja.
Aku mencoba sebisaku ikut mengurus pesantren tinggalan abah. Alhamdulillah
ustadz-ustadz yang gede-gede masih setia mengajar di madrasah dan pesantren
kita. Pengurus pesantren juga masih menganggap aku Nyai mereka dan mereka taati
seperti saat abah masih hidup.
Ah, semuanya seperti berjalan biasa-biasa saja, abah. Hanya setiap malam
ketika aku sendirian, aku selalu teringat abah. Pedih rasanya tak mempunyai
kawan berbincang yang seperti abah; yang setia mendengarkan celotehku meski
sepele, yang siap membantu memecahkan masalah yang aku lontarkan. Oh, abah.
Kini aku mempunyai masalah besar dan abah tak ada di sampingku.
Orang mulai memperhatikanku. Tapi tidak seperti perhatian mereka saat abah
masih ada. Kini mereka memperhatikanku sebagai janda muda. Baru setahun abah
meninggalkan kami, sudah ada saja godaan yang harus aku hadapi. Seorang ustadz
yang sudah mempunyai dua orang istri, terang-terangan melamar aku. Lalu seorang
duda kaya mengirimkan proposal lamaran, lengkap dengan CV-nya. Belakangan
seorang perwira polisi bujangan juga menyampaikan keinginannya yang serius mempersunting
aku. Semuanya aku tolak dengan halus.
Kemudian kedua orangtuaku sendiri dengan hati-hati menanyakan kepadaku
apakah aku memang sudah ingin menyudahi status jandaku. Ingin didampingi oleh
seorang suami. Namun ketika aku tanya “Kawin dengan siapa?” kedua orangtuaku
tidak bisa menjawab. Dan sejak itu mereka tidak pernah menyinggung-nyinggung
masalah itu lagi.
Sungguh, abah, bukan kebutuhan biologi benar yang membuat aku terpicu
pertanyaan kedua orangtuaku dan berpikir tentang laki-laki lain untuk menjadi
suami setelah abah. Meski tidak aku pungkiri faktor biologi itu ada. Tapi
dengan memikul tanggung jawab memelihara pesantren tinggalan abah, aku sungguh
memerlukan penopang. Belum banyak ilmu yang sempat aku serap dari abah. Aku
perlu pengayom seperti abah dulu. Aku perlu orang dengan siapa aku dapat
bertukar pikiran. Syukur dapat memberikan nasihat dan arahan bagi kelangsungan
dan perkembangan pesantren kita.
Dalam pada itu, abah, telingaku yang tersebar di mana-mana, terus mendengar
pembicaraan masyarakat. Beberapa tokoh masyarakat diam-diam membicarakan diriku
dan pesantren kita. Mereka iba terhadap nasibku dan sekaligus memprihatinkan
pesantren. Mereka sadar bahwa aku masih muda dan di sisi lain, pesantren kita
butuh kiai laki-laki seperti umumnya pesantren-pesantren yang lain. Mereka,
seperti juga aku, terbentur kepada pertanyaan: siapakah kiai laki-laki itu?
Kemudian kudengar mereka menyepakati kriteria dan syarat-syarat siapa yang
boleh mengawiniku.
Mereka tidak rela kalau aku dipersunting orang ‘biasa’ yang tidak selevel
abah. Mana ada orang yang selevel abah mau mendampingiku? Masya Allah, abah.
Apakah karena menjadi jandanya kiai seperti abah, lalu aku hanya dianggap obyek
yang tidak berhak menentukan nasib sendiri?
Setiap malam aku menangis, abah. Menangis sebagai Nyai yang mendapat
warisan tanggung jawab. Menangis sebagai perempuan dan janda muda yang
kehilangan hak. Tapi aku tetap nyaimu, abah; aku tidak akan menyerah. Aku
percaya kepada-Nya. (*)
17 Desember 2011
Catatan:
[1] ndalem = sebutan untuk rumah kediaman kiai pesantren
[2] air suwuk = air yang didoa-i
menarikkkk
BalasHapusmenarikkk
BalasHapus