Abdul Munir Mulkhan
Komisioner Komnas HAM 2007- 2012, Wakil Sekretaris Pimpinan
Pusat Muhammadiyah 2000-2005, Guru Besar Fakultas Tarbiyah & Keguruan UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta
KORAN SINDO, 26 Maret 2013
Praktik korupsi yang belakangan mulai melibatkan elite partai berlatar
belakang gerakan keagamaan mengindikasikan pola rekrutmen tidak sehat,
kesalahan (baca: dosa) kolektif, selain praktik keagamaan dengan ketuhanan
utopis.
Surga-neraka seolah merupakan wilayah dunia antah berantah dengan
Tuhan tak tersentuh. Korupsi dipandang sebagai bukan dosa besar yang tidak
mungkin memperoleh ampunan Allah. Menelantarkan rakyat dan umat bukan sebuah
maksiat atau dosa, melainkan sekadar sebuah kekeliruan kecil seperti salah-ucap
(slip of the tongue). Dalam situasi demikian, rakyat negeri ini merindukan
kehadiran pemimpin yang memiliki kesadaran profetik dan keberpihakan humanis
dengan kecerdasan sosial tinggi.
Suatu kecerdasan yang meletakkan dosa-pahala sebagai wilayah empirik
tentang kemampuan memenuhi kebutuhan sebagian besar warga yang tidak beruntung
alias miskin, papa, dan menderita. Tuhan bukan sesuatu yang jauh, surga-neraka
bukan wilayah utopis, melainkan hadir dalam praksis kehidupan sehari-hari.
Pemimpin dengan kecerdasan sosial tinggi demikian tidak meletakkan jabatan sebagai
kehormatan dengan sejumlah aksesori protokoler dan ajudan.
Pemimpin berkecerdasan sosial tinggi menempatkan diri sebagai manusia
biasa dengan tanggung jawab sosial-politik yang setiap saat tampil bersama
rakyat dan umat yang dipimpin. Pemimpin yang terus membuka diri berdialog
dengan rakyat tanpa aksesori protokoler yang sering menjadi penghalang rakyat
berhubungan langsung dengan sang pemimpin. Pemimpin berkecerdasan sosial tinggi
itulah yang disebut pemimpin profetik yang menyatu dengan jiwa rakyat dan umat.
Secara sosiologis ia berbeda dengan pemimpin imam yang lebih cenderung
mengurusi Tuhan utopis sehingga tidak jarang menjadikan umatnya sebagai tumbal
surgawi. Di mana posisi pemimpin profetik dalam berbagai survei tentang calon
presiden negeri ini? Sayang, survei-survei yang dilakukan berbagai lembaga
belum memasukkan kecerdasan sosial sebagai salah satu variabel yang patut
dilacak dalam dunia empirik. Kendati demikian, bukan berarti namanama yang
beredar dalam berbagai survei tidak ada yang memiliki kecerdasan sosial tinggi.
Soalnya, bagaimana mengenali kecerdasan sosial seseorang calon
pemimpin? Larisnya lembaga survei mengenai elektabilitas partai dan sosok
seseorang sebagai calon presiden menjadi salah satu penanda negeri ini
merindukan pemimpin baru.
Soalnya, apakah pemimpin baru yang lahir dari proses demokrasi
Pemilihan Umum Presiden 2014 nanti dijamin bisa mengangkat harkat dan martabat
sebagian besar rakyat yang hingga kini belum menikmati hidup layak dalam alam
yang merdeka? Hanya pemimpin dengan kecerdasan sosial tinggi yang memiliki
kemampuan memahami kebutuhan rakyat banyak dan bersedia secara gigih (tanpa
pamrih) memperjuangkan pemenuhan kebutuhan rakyatnya terutama yang miskin dan
menderita tersebut.
Korupsi yang melibatkan orang-orang berlatar belakang pendidikan
tinggi, pemimpin gerakan keagamaan, atau partai berbasis keagamaan, mendorong
banyak orang mulai mencari penjelasan dari sudut pandang ekstrem. Sementara
pertumbuhan ekonomi tinggi negeri ini ternyata bukan indikasi rakyat miskin
memperoleh layanan kesehatan memadai. Rakyat miskin seolah dilarang sakit,
dilarang bersekolah, dan dilarang cerdas.
Konstitusi memang memberi mandat pada negara untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa, namun faktanya banyak rakyat miskin yang gagal bersekolah dan
gagal berobat di tengah tebaran iklan pendidikan gratis. Praktik bernegara dan
beragama utopis tidak bisa menjamin pengelolaan kehidupan bersama menjadi lebih
nyaman bagi semua orang. Kecerdasan inteligensi tinggi tidak memberi jaminan
seseorang bertindak lebih bijak dan arif dalam kehidupan sosial.
Di sini pandangan Socrates lebih 2000 tahun lalu mengenai fungsi ilmu
atau filsafat sebagai penggesa hidup manusia lebih bijak dan lebih cerdas
menjadi penting. Kuncinya terletak pada penempatan ilmu (filsafat) bukan
sekadar instrumen pencapaian material kehidupan, melainkan pencarian kebajikan
dan pengembangan hidup bajik itu sendiri. Ironisnya, jalan ilmu atau filsafat
yang bisa membuat hidup bersama berbangsa ini lebih nyaman dan lebih bajik
adalahjalansulitnansunyitanpa aksesori indah.
Sementara jalan indah penuh aksesori yang mengundang selera dan
syahwat adalah jalan politik dan kekuasaan. Jalan ilmu dan filsafat adalah
jalan panjang bagai pohon yang lama berbuah. Jika berbuah, rasanya kadang
pahit. Barulah jika diolah melalui proses yang rumit, buah ilmu itu terasa
lezat yang bisa membuat ketagihan. Akibatnya, banyak orang lebih bersyahwat
meniti jalan politik dan kekuasaan daripada jalan filsafat dan ilmu,
lebih-lebih lagi menjelang tahun politik 2014.
Dalam situasi demikian itulah banyak orang mulai mencari tolok ukur
kepemimpinan yang bisa membawa bangsa ini menjadi lebih makmur dan berkeadilan.
Secara berseloroh seorang teman melontarkan gagasan kecerdasan sosial sebagai
basis utama kepemimpinan ideal. Pemimpin yang memilih jalan praksis ilmu dan
filsafat guna mencapai kearifan dan kecerdasan sekaligus.
Berbeda dari kecerdasan inteligensi yang sudah berlaku berabad-abad
dengan baku-uji terukur, kecerdasan sosial belum banyak dikenal dan belum
banyak menjadi fokus kajian. Kecerdasan sosial lebih banyak berkaitan dengan
persoalan kepemimpinan dalam kehidupan bersama dalam sebuah formula kebangsaan
dan kenegaraan.
Kecerdasan inteligensi seseorang tidak menjamin yang bersangkutan
berhasil menjalani hidup sosialnya. Sukses sosial seseorang dengan kecerdasan
inteligensi tinggi masih memerlukan kecerdasan
emosional agar bisa berkomunikasi dengan orang lain atau kelompok lain
secara lebih baik. Namun, bagi orang yang menghadapi persoalan rumit yang belum
pernah dihadapi sebelumnya yang membutuhkan sikap dan daya kritis tinggi,
kecerdasan lain yang dikenal sebagai kecerdasan spiritual diperlukan.
Kemampuan orang yang memiliki kecerdasan spiritual disebut para ahli
sebagai fungsi variabel “Titik Tuhan” atau “God Spot”. Mereka yang memiliki
kepedulian sosial tinggi sekaligus dikaruniai “Titik Tuhan” karena mampu
menerobos melampaui tradisi (birokrasi dan lainnya) menyatu dengan jiwa rakyat
hampir tanpa batas guna mencapai tujuan kolektif. Itulah pemilik kecerdasan
sosial.
Seorang kepala daerah tanpa aksesori yang blusukan ke lorong-lorong
kumuh untuk mengerti rakyatnya, tidak segan masuk gorong-gorong, menyeberang
jembatan yang mau roboh ikut merasakan kegetiran warganya, tanpa pengawal dan
protokoler, merupakan beberapa contoh yang memberi indikasi kepemilikan
kecerdasan sosial tinggi. Kepemimpinan profetik mendahulukan kepentingan publik
menempatkan birokrasi dan lembaga sebagai alat memenuhi kepentingan publik.
Jika perlu, pemimpin profetik itu melakukan tindakan yang bahkan
melampaui tradisi birokrasi menciptakan tradisi dan tata-nilai baru yang tidak
lazim pada zamannya. Indikasi sosok pemimpin profetik demikian akan terlihat
dari respons warga yang muncul dari berbagai kelompok melampaui batas-batas
etnis, keagamaan, dan partai. Seperti seorang nabi, meski memperoleh mandat
Tuhan, ia hidup menyatu dengan sesama sebagai manusia biasa membangun tradisi
baru menerobos melampaui tradisi pada zamannya. Dalam dunia pewayangan kita
kenal tokoh Semar, seorang dewa yang menjalani hidup sebagai pelayan para
ksatria.
Semarlah yang sebenar- benarnya sang pemimpin. Perilaku profetiknya
menjadi dasar bagi semua orang untuk menempatkannya sebagai bagian dari
hidupnya sebagai wonge dewe (Jawa), wong kito (Palembang), orang kita. Sosok
pemimpin profetik demikian menjadi milik bersama diakui sebagai bagian
kehidupan melampaui batas-batas etnis, keberagamaan, dan keberpartaian. Jalan
sunyi kepemimpinan profetik tersebut secara primordial lebih dikenal sebagai
almahdi atau satrio piningit (Jawa) yang semakin hari semakin dirindukan
kehadirannya.
Siapa mau meniti jalan sunyi kekuasaan sebagai pemimpin profetik bagai
dewata yang mewujud sebagai pelayan rakyat seperti Semar? Mungkin muncul pada 2014
atau sekadar sebuah harapan. Lumayan ... Sekurangnya masih ada harapan, ada
asa, bukan putus asa!
terkadang aksi sosial yang dilakukan oleh pemimpin karena ada unsur pencitraan
BalasHapus