Sujiwo Tejo, Dalang
Kompas, 5 Desember 2009
Saya pendukung calon presiden Jusuf Kalla pada pilpres yang lalu. Demi
itu, saya akhiri riwayat golput sejak pertama punya hak pilih pada era
Soeharto.
Tetapi, saya menolak jika pengusutan kasus Bank Century diarahkan
untuk utamanya mendongkel kepresidenan SBY. Biarkan gerakan angket di DPR,
dukungan LSM, demi tegaknya keadilan. Janganlah sejak dini, aneka gerakan ini
diagendakan untuk penggulingan kekuasaan.
Ilmu tak tertulis juga mengajarkan, pemimpin adalah cermin
masyarakatnya. Keduanya jodoh ibarat suami-istri. Jika suami koruptor, hampir
bisa dipastikan istrinya orang yang korup pula. Kalaupun sang istri bukan
koruptor, karena belum punya pangkat dan kedudukan, setidaknya memiliki
sifat-sifat dasar koruptor. Sirik, rakus, iri, dengki, dendam. Bukankah itu
”Pancasila”-nya korupsi?
Ilmu tak tertulis juga mengajarkan, sebagian besar rakyat, termasuk
saya, mendoakan agar semua pejabat korup. Bawah sadar kita, bawah sadar ”aku”,
yakni ingsun, tak menaruh hormat kepada pemimpin miskin yang mobilnya kelas
Kijang seperti Baharuddin Lopa atau Sarwono Kusumaatmadja zaman dulu.
Padahal, Sastrajendra Hayuningrat dari pewayangan, salah satu molekul
di antara samudra ilmu tak tertulis, mengajarkan, doa paling manjur adalah
kehendak bawah sadar itu. Doa mujarab bukan yang terucap di mulut, terlintas di
pikiran maupun tebersit di hati. Doa paling cespleng adalah gerakan bawah sadar
kita yang, misalnya, tak menghargai istri pejabat dengan tas jelek, tidak
bermerek. Alias diam-diam membuat doa paling mustajab agar suaminya korup.
Maka, gerakan angket kasus Bank Century, jika sejak awal diagendakan
untuk mendongkel pemimpin yang diduga korup, sama dengan mendongkel masyarakat
itu sendiri alias membuat kita berantakan dan bubar.
Mahkota Raja
Ilmu tidak tertulis mengajarkan, sah seorang pemimpin berbuat kotor
untuk mencapai cita-cita bersama. Ini karena kepemimpinan ada dalam ranah
praktis, lahan kaum ksatria, weisya, eksekutif. Ini bukan tataran teori maupun
ajang pergulatan intelektual yang bisa bersih. Ini bukan arenanya kaum brahmana
yang maksimal kepraktisannya hanya berfungsi sebagai penasihat eksekutif. Ini
tataran yang seru. Ini tatarannya para pelaksana yang harus berhadapan dengan
jutaan manusia dengan berbagai perangai. Jadi bagaimana kita akan bersetuju
dengan gerakan mengusut kasus Bank Century jika sejak awal diagendakan untuk
menumbangkan pemimpin yang diduga kotor?
Ya, pemimpin mau tak mau mesti kotor. Maka Bung Karno pernah bilang
strategi saja tidak cukup. Diperlukan taktik. Tetapi, taktik yang perubahannya
relatif lama juga tidak cukup. Diperlukan siasat yang bisa berubah setiap detik
tergantung sikon. Dalam siasat itu, lebih-lebih pada zaman sekarang, jer basuki
mawa bea alias uang bicara.
Tak heran jika dalam pemilihan Ketua Umum Partai Golkar, calon yang
tak terpilih, Surya Paloh, tidak tegas mengatakan dirinya tidak mengeluarkan
biaya untuk perolehan suara. Ia hanya tersirat mengaku kalah kemampuan
finansial dari kubu Aburizal Bakrie dalam menerapkan jer basuki mawa bea pada
saat-saat terakhir sebelum pemilihan.
Itu baru lingkup partai. Terbayang jer basuki mawa bea sebesar apa
lagi jika seseorang meraih posisi puncak di negeri ini.
Sebenarnya dari kalangan ilmu tertulis, Sartre, sudah ada wanti-wanti,
kepemimpinan, baik cara pencapaiannya maupun cara menjalankannya setelah
kedudukan itu tercapai, tidak mungkin bersih. Secara puitis, Rendra pernah
menyadurnya dalam selarik sajak, ”Tanpa tangan-tangan kita kotor, tak mungkin
kita ciptakan itu firdaus…”.
Ilmu tak tertulis dari dunia pewayangan mengajarkan, Rahwana, simbol
angkara murka, sebenarnya sudah ingin bunuh diri setelah bertapa 50.000 tahun
di Gunung Gohkarno. Rahwana putus asa berwujud buruk dan sifat jahat. Tetapi,
dewa-dewa tidak mengizinkan. Alasannya, tanpa sisi gelap manusia, dunia tak
terselenggara dalam harmoni hayuning bawono. Maka Rahwana tak mati-mati.
Sukmanya selalu merasuki kaum pemimpin.
Ilmu tak tertulis dari kalangan teater tradisional seperti drama gong
di Bali, degung di Pasundan, atau ketoprak di Jawa mengajarkan, tiap raja
memerlukan mahkota yang indah. Sama halnya tiap pemimpin perlu diberi citra
yang bagus, karena pemimpin bukan rohaniwan yang mungkin suci, tetapi belum
tentu becus memimpin. Pemimpin itu pasti kotor atau setidaknya pernah kotor.
Entah itu kotor karena uang, karena lumuran darah dan air mata pihak yang tak
sepakat.
Jadi, sekali lagi, masihkah kita bersepakat dengan gerakan pengusutan
Bank Century jika niat utama, dan mungkin satu-satunya, penggulingan kekuasaan?
Kearifan Tradisional
Ilmu tak tertulis begitu banyak. Itu bukan saja ilmu saat Menkominfo
Tifatul Sembiring membaca bahasa tubuh SBY dan dapat menyimpulkan sikapnya
sebelum SBY resmi mengumumkan sikapnya atas rekomedasi Tim 8. Tetapi, itu juga
ilmu yang digunakan masyarakat untuk sampai pada kesimpulan diam-diam, hanya
melalui bahasa tubuh, tentang siapa sebenarnya Komjen Susno Duadji.
Ilmu tak tertulis adalah semua ilmu yang tidak diajarkan di bangku
sekolah dan kuliah. Mengingat dunia akademis, bahkan untuk mengajarkan teater
saja, memilih teater yang ada naskah tertulisnya, maka yang diajarkan
kebanyakan teater Eropa. Lakon dan kearifan yang terkandung dalam teater
tradisional, tak tertulis, teronggok, dan nyaris punah.
Padahal, kearifan tak tertulis itu bisa memberi tahu kita mengapa
reformasi 1998 gagal? Karena reformasi itu didorong seluruh atau di antara
”Pancasila”-nya korupsi: Sirik, rakus, iri, dengki, dendam. Bukan pertama-tama
didorong membuat perbaikan guna meraih kembali kejayaan Nusantara.
Ilmu tak tertulis mengajarkan kita semua untuk waspada dan hati-hati
agar tidak terseret gerakan pengusutan kasus Bank Century jika agendanya cuma
penggulingan penguasa yang belum tentu terbukti bersalah. Ilmu tak tertulis
hanya membuat kita terpanggil mendukung gerakan itu jika agendanya adalah
meraih kembali kejayaan Nusantara guna perbaikan nasib kita bersama. Yang
lain-lain, jika pun terjadi, hanya dampak sampingan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar