Abdul Munir Mulkhan
Anggota Komnas HAM RI 2007-2012,
Wakil Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2000-2005
SINDO, 10 Juli 2012
Jumat malam, 6 Juli 2012, Dr Moeslim Abdurrahman meninggalkan kita
semua, menuju ke haribaan sang Pencipta, yang selama ini dia cari.
Berhentikah kita mencari kebermaknaan Tuhan bagi kehidupan umat
manusia seperti yang selama ini dilakukan melalui ucapan dan tindakan Kang
Moeslim Abdurrahman? Entahlah, karena pencarian kita itu apakah sudah sampai,
baru berada di tengah jalan yang benar, atau kita sebenarnya sedang sesat
jalan? Hanya kita sendiri yang bisa menggugat meski orang lain bergemuruh
membenarkan atau sebaliknya menyatakan sesat jalan.
Dalam sebuah buku kecil kumpulan karangan berjudul Satu Tuhan Seribu
Tafsir terbitan Kanisius,Moeslim menulis: “Ini sekadar bagian atau contoh dari
kerumitan teologis: Mengapa pluralitas sebenarnya adalah sebuah keniscayaan,
sementara klaim kebenaran pada dasarnya adalah tafsiran yang terbatas karena
sejak awal dibatasi oleh sejarah seseorang yang lahir dari komunitas yang
memang berbeda- beda, di samping perbedaan struktur sosial yang menjadi lokus
inkulturasi dan akulturasi agama dan keyakinannya.
Tuhan “Objektif”, saya kira tidak mungkin untuk tidak menimbang dan
mempertimbangkan faktor-faktor yang membatasi dan menjadi kendala setiap
manusia untuk taqarrub, yakni berusaha mendekati-Nya, tentu dalam kapasitas
masing-masing dan dalam konsep Tuhan “Subjektif” yang dikenalnya dan pemahaman
tentang kehendak-Nya sesuai dengan teks suci yang diwarisinya.” ( halaman 9).
Tulisan itu merupakan komentar atas apa yang menurutnya: “Dan
persoalannya, bagaimana mungkin kita mau menghapus pilar-pilar peradaban itu
hanya karena alasan politik, toh ada hukum Tuhan yang tidak mungkin kita lawan.
Bahwa seorang anak manusia pasti akan dilahirkan oleh ibunya dan seorang bayi
sebelum lahir tidak mungkin berunding dulu dengan Tuhan, dari kandungan
perempuan mana ia akan lahir, di kawasan budaya dan komunitas mana ia mau
dibesarkan, termasuk permintaan misalnya janganlah Tuhan menitipkan ruhnya di
keluarga yang miskin sebab mungkin bisa menghalangi tingkat kesalehan hidupnya
di dunia nanti akibat kemiskinannya itu.”(halaman 8-9). Tulisan Moeslim itu
penting kita baca kembali menjelang bulan suci saat banyak orang atas nama
Tuhan yang diyakininya menutup kafe-kafe dan nanti juga menutup warung makan
agar tidak buka di siang hari, sementara ribuan orang menanti suapan dari
tangan-tangan yang bergantung kepadanya.
Mengapa orang tidak mengembangkan lapangan kerja di percetakan kitab
suci agar tidak bekerja di kafe atau warung makan pinggir jalan. Mungkin juga
karena pencetakan kitab suci pun telah dikorupsi, mungkin sejak lama, hanya
baru ketahuan sekarang. Atau,ini sebagai penanda kiamat sudah dekat sehingga
Dajjal pun menguasai bidang-bidang yang semestinya memuliakan asma Allah.
Moeslim yang saya kenal ialah muslim yang berani dan bisa membuka
jendela imannya untuk menengok iman model tetangganya agar ia bisa berdialog
dan tukar pengalaman tentang pencarian abadi kebertuhanan yang tidak pernah
selesai. Karena itu, kadang ucapan dan tindakannya membuat banyak orang terhenyak
kaget, ketika keyakinannya yang selama ini dipandang sudah baku mutlak benar
itu seolah coba diurai kembali.
Tampilan yang sederhana mencerminkan keluguan sikap hidup sekaligus
kejujuran yang ia coba pegang teguh, juga dalam praktik beragama yang ia peluk
sejak sebelum “lahir”itu. Lahir dari keluarga yang saleh di Lamongan, Jawa
Timur pada 1948, hingga sarjana belajar ilmu tentang agama yang diyakini sejak
sebelum lahir, memperoleh master dan doktor antropologi di University of
Illinois, Urbana, Amerika Serikat.
Pernyataan, ucapan, dan tindakan Moeslim sesudahnya itu seolah
mempertanyakan kembali praktik ajaran yang dipelajari di Tanah Air. Walaupun
itu semua merupakan cara meneguhkan kembali keyakinannya dengan cara lanjut
karena “maqam”-nya sudah naik ke bintang 11. Ia akrab dengan tokoh-tokoh NU
walaupun besar dari keluarga Muhammadiyah. Ia akrab dengan tokoh-tokoh Hindu,
Buddha, dan Kristiani meskipun Moeslim ini adalah seorang muslim yang saleh.
Dalam gerakan Islam modernis terbesar di negeri ini ia pernah
dipercaya sebagai ketua Lembaga Pemberdayaan Buru, Tani, dan Nelayan. Ia juga
menjabat sebagai ketua Al-Maun Institute yang didirikan mengacu pada legenda
yang identik dengan aksi-aksi kemanusiaan Kiai Ahmad Dahlan, pendiri
Muhammadiyah. Meski demikian, tidak segan ia melancarkan kritik ke tubuh
gerakan ini sehingga pernah ia lontarkan perlunya kelahiran Muhammadiyah Jilid
II saat ia melihat gejala kemandekan ijtihad dalam gerakan ini.
Pada Agustus 2003, bersama penulis dan beberapa tokoh nasional,
Moeslim Abdurrahman berangkat umrah.Saat naik bus dari Bandara King Abul Aziz
menuju Kota Mekkah dalam suatu obrolan muncul pertanyaan “entah dari siapa”
tentang “Apa yang paling menarik dari ribuan orang yang setiap saat berziarah
umrah ke Tanah Suci?” Semua penumpang susulmenyusul melontarkan jawaban
spontan, tapi yang membuat penumpang bus itu terhenyak ialah jawaban Moeslim
Abdurrahman.
Atas pertanyaan tersebut, Moeslim menjawab, “Paling penting dari
ziarah haji dan umrah ini ialah berapa juta real yang masuk sebagai devisa
pemerintahan Arab Saudi!” Sontak penumpang bus peziarah umrah itu tergelak
…tapi ….segera terdiam …sambil bergumam lirih yang didengar telinga
masing-masing. Bagaimana sebenarnya peziarah itu menangkap makna dari jawaban
Moeslim tersebut? Mungkin dibawa Moeslim menghadap Tuhan.
Dari sekian banyak buku dan karya tulis yang lahir dari kepalanya,
yang menarik ialah ketika Moeslim menulis: “…legitimasi Tuhan anehnya juga
dapat membenarkan orang boleh membunuh orang lain karena panggilan-Nya, bahkan
mengesahkan permusuhan yang berkepanjangan juga dengan alasan karena
ajaran-Nya. Maka, tidak heran, dalam berbagai pertikaian politik seolaholah
yang terjadi adalah Tuhan menyerang Tuhan.
Masingmasing Tuhan saling berebut menang, bahkan tidak hanya yang
menang dalam permusuhan itu, mereka mengaku telah memperoleh bukti bahwa
merekalah yang sesungguhnya mendapat pertolongan-Nya karena mereka di pihak
yang benar, tetapi yang kalah pun untuk menjaga semangatnya mengaku bahwa
mereka sebetulnya sedang dicoba Tuhan, yakni apakah tahan dengan kekalahannya
itu sebagai pembela kebenaran.” (Satu Tuhan Seribu Tafsir, halaman 6-7).
Seperti komentar banyak temannya, Moeslim yang dekat dengan Gus Dur
itu adalah pemikir kritis yang menggugah banyak orang yang mengantuk. Banyak
warisan yang ditinggalkan Kang Moeslim, namun satu hal yang penting dicatat
ialah pertanyaannya suatu saat bahwa: “Apakah kita ber-Tuhan sesungguhnya
karena untuk melawan Tuhan orang lain?” Selamat jalan meniti lorong labirin
tanpa batas kecuali pembatasan Tuhan Kang Moeslim, kita semua akan menyusulmu
dengan cara berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar