Untukmu yang tidak berlangganan atau
tidak sempat membaca harian Suara Merdeka 8 September 2010:
Siang demi siang dan malam
demi malam Ramadan telah kita lalui. Kehidupan yang lain daripada yang lain
telah kita jalani di bulan yang kita sebut bulan suci ini. Kita berdoa semoga
kita mampu menyerap kesucian bulan ini. Mampu tidak hanya memaknai tapi sekaligus
menghayati puasa kita. Sehingga nilai tambahnya tidak hanya berupa
ganjaran di akhirat, namun dapat merupakan peningkatan pribadi kita sebagai
hamba-hamba mukmin yang tahu bersyukur.
Kita berdoa semoga Ramadan kali ini
benar-benar berhasil mendidik kita menjadi manusia yang lain, manusia
yang tidak hanya menyadari kekhalifahannya, tapi sekaligus kehambaannya.
Manusia yang saleh di hadapan Allah dan saleh di hadapan sesama manusia.
Kita berdoa dan berdoa, karena
agaknya memang hanya –berdoa-- itulah andalan kita selama ini. Apalagi bila
mengingat sekian Ramadan lepas begitu saja tanpa terlihat bekasnya pada pribadi
kemusliman kita. Muslim yang paling baik menurut Pemimpin Agung
kaum muslimin dan yang paling tahu tentang keIslaman, Nabi Muhammad SAW, ialah “Man
salimal muslimuun min lisaanihi wayadihi.” Orang yang selalu menjaga agar
lisan dan tangannya tidak melukai sesama. Jadi bukan orang yang
berkobar-kobar membela Islam dengan keganasan lisan dan tangannya.
Kita berdoa; karena sekian Ramadan
terlewati begitu saja tanpa berhasil mendidik kita untuk menjadi manusia yang
benar-benar jujur. Pendidikan jujur yang diberikan oleh puasa setiap Ramadan,
ternyata hanya berlaku –kalau pun berlaku— pada puasa pada bulan suci itu.
Sebagaimana pendidikan rendah hati dan kedermawanan yang hanya
terserap –kalau pun terserap-- tak seberapa dan sementara.
Kesombongan sebagai kaum yang merasa paling selamat, paling benar, dan
paling mulia di sisi Allah, masih sangat kental terasa; meski kebanyakan kita
tidak merasa. Kedermawan kita juga masih sarat termuati pamrih tersembunyi.
Kita berdoa; karena agaknya kita
tidak mampu percaya bahwa puasa Ramadan telah kita jalani sebagaimana mestinya.
Apalagi sikap kita terhadap puasa Ramadan terkesan masih terpaksa dan di bawah
sadar minta dihargai. Himbauan “menghormati Ramadan” apa maksudnya, kalau
tidak si penghimbau ingin dibantu berpuasa atau ingin dihargai? Apakah Ramadan
butuh dihormati? Bukankah Ramadan sejak awal sudah terhormat? Seolah-olah
karena kita sudah mau berpuasa, mau mengekang nafsu dan syahwat, mau mengubah
kehidupan yang sangat duniawi menjadi kehidupan ruhani, maka kita harus
dihargai dan minta imbalan.
Kita berdoa; karena kita belum bisa
yakin bahwa puasa kita telah berhasail menyeimbangkan diri kita sebagai
manusia daging dan ruh, manusia dunia-akherat. Apalagi sehari-hari di
bulan suci ini, di samping tidak makan tidak minum di siang hari dan
ramai-ramai taraweh, acara-acara duniawi yang bersifat daging rupanya
tidak mau begitu saja diabaikan. Bahkan
kepentingan-kepentingan daging begitu lihai menyusup ke dalam
‘amalan-amalan ibadah’, seperti menyusupnya
kepentingan-kepentingan politisnya politisi dalam agitasi
kerakyatan dan keagamannya. Ramainya tadarus bersaing dengan hiruk-pikuknya
acara badutan tv yang sering kali tak jelas maksud dan tujuannya.
Untunglah masih ada doa. Maka
marilah kita berdoa semoga puasa dan amal ibadah kita diterima oleh
Allah. Semoga kesalahan-kesalahan dan kekuarangan-kekurangan kita diampuniNya.
Semoga puasa Ramadan kali ini benar-benar berhasil mendidik kita menjadi
manusia yang seimbang: manusia yang hamba dan khalifah Allah; manusia yang
daging dan ruh; manusia yang menyembah Tuhan dan mengasihi sesama hambaNya;
manusia dunia-akherat. Amin.
Akhirnya, saya sampaikan: “Selamat
Hari Raya Fitri 1431. Kullu ‘aamin waAntum bikhair. Mohon maaf lahir batin .
Oleh KH. Mustofa Bisri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar