1 / 3
belajar satu
2 / 3
belajar 2
3 / 3
Caption Three

Selasa, 24 Januari 2017

TOBAT



Tiba-tiba aku ingin menukil dan menurunkan tulisanku 13 tahun yang lalu, ini:

Bahkan sebelum gegap gempita reformasi – ada yang sempat menghitung 1000 hari sebelum krisis menimpa negeri ini – beberapa kiai sepuh sudah mengingatkan agar kita berlari kepada Allah dan berisitighfar, memohon ampunanNya. Mereka sendiri sudah mendahului yang lain. Mereka semua  membaca qunut Nazilah  ketika dan setiap kali bersembahyang dan beristighfar sesudahnya. Di samping itu masing-masing melakukan amalan-amalan sebisa mereka. Ada yang setiap malam bangun bermunajat kepada Allah hingga subuh; ada yang setiap malam mengkhatamkan Al-Quran dan  berdzikir bersama santrinya; ada yang meningkatkan puasa Senin-Kemis mereka dengan puasa Nabi Daud; bahkan ada yang bersama kiai-kiai di sekitarnya membentuk semacam ‘tim Istikharah’ untuk menjaring isyarat-isyarat langit.


Agaknya mereka itu merasakan, sebelum atau bersamaan dengan melihat-nya orang-orang yang nuraninya masih jaga, adanya ketidakberesan yang berlangsung. Bersamaan dengan meningkatnya frekwensi kengawuran mereka yang ngawur di satu pihak dan semakin gencarnya koreksi mereka yang melihat ketidakberesan dan berani mengoreksi kengawuran yang terjadi di pihak lain, para kiai yang tidak pernah diliput  media massa itu pun semakin merundukkan kepala dan semakin keras mengetuk pintuNya.

Anehnya – dan ini cukup mendebarkan – ketika tuntutan reformasi memuncak dan tanda-tanda keberhasilan tuntutan itu sudah mulai tampak, bahkan mungkin ada yang sudah berpesta merayakan kemenangan, para kiai sepuh itu sama sekali tidak mengendorkan mujahadah dan istighatsah mereka.    

Ketika semua orang menyuarakan reformasi, termasuk mereka yang sebenarnya masuk katagori yang  perlu ‘direformasi’,  boleh jadi para kiai yang meratap ke langit itu pun menjadi bahan olok-olok. Bahkan ketika ada yang bertanya dengan sinis apa yang dilakukan para kiai dalam keadaaan genting seperti sekarang ini dan dijawab “Para kiai terus berdoa”, komentar yang lebih sinis pun  sepontan dilontarkan: “Keadaan sudah seperti ini kok hanya berdoa”. Mungkin tidak enak mendengar komentar yang meng-hanya-kan doa ini, namun bisa dimaklumi. Memang selama ini doa dan istighatsah  sudah terlalu diglangsar, digunakan lebih sebagai semacam kosmetik untuk menyogok Tuhan bagi kepentingan-kepentingan yang tidak karuan juntrungnya.

Sementara kehidupan serba daging yang secara sistematis digayakan selama ini, telah menyebabkan kita sebagian terlalu ngendel-ngendelke, mengandalkan, akal; sebagian lain malah tidak menggunakan atau kehilangan akal sama sekali. Sedangkan, sebagaimana nurani, ruh hampir tidak mendapat tempat. Doa yang ruhaniah pun hanya untuk mendukung kepentingan daging. Atau bahkan doa itu sendiri sudah menjadi “daging doa”.

***
Setelah ‘kepala orde baru yang lapuk’, Soeharto, lengser, sebagian orang mungkin berpikir bahwa orde yang lapuk itu pun sudah benar-benar ambruk. Kalau memang ada pikiran  demikian, jelas ini pikiran yang terlalu sederhana. Orde ini sudah lebih 30 tahun dibina dan diawetkan, bukan oleh ‘kepala’nya saja. ‘Buntut’-nya  –melebihi buntut cicak yang mampu bergerak-gerak setelah terputus dari kepalanya-- masih panjang.
Orde yang dibina dan diawetkan sekian lama itu telah menciptakan ‘peradaban’ yang tidak mudah diganti. Bahkan sadar atau tidak, mental dan budayanya masih melekat atau setidaknya mempengaruhi hampir semua kita. Lihatlah, ketika kita bicara krisis dan  reformasi, misalnya, tetap saja yang tampak mencuat  adalah kepentingan yang sempit: kepentingan sesaat; kepentingan pribadi; atau kepentingan kelompok. Sedemikian mencuatnya kepentingan dan interes itu hingga orang tak lagi jeli tentang apa yang sebenarnya paling mendesak dibutuhkan oleh masyarakat banyak.

Krisis-krisis yang jalin-berjalin antara krisis moneter, krisis ekonomi, krisis politik, krisis moral, sampai krisis kepercayaan dan  teori-teori pemulihan keadaan -- dari berbagai krisis jalin-berjalin itu -- yang hanya mengandalkan akal dan ternyata sampai saat ini belum memperlihatkan tanda-tanda kemanjurannya pun tampaknya belum mampu menggerakkan orang untuk benar-benar kembali kepada  Pemilik saham satu-satunya, Allah! Padahal semuanya mengaku yakin bahwa Ialah Yang Maha Kuasa atas segalanya.

Ada memang yang memandang krisis-krisis yang melanda kita saat ini sudah menjurus kepada  azab Allah dan untuk menolaknya perlu melakukan ‘pendekatan’ kepada Allah. Memang menurut Quran, 8. Al-Anfaal: 33, yang dapat menangkal azab Allah itu hanya dua: kehadiran Nabi Muhammad saw. dan istrighfar.   Dan orang pun beramai-ramai membaca shalawat untuk ‘menghadirkan’ Rasulullah saw dan beristighfar bahkan beristighastah.

Namun pendekatan kita kepada Allah itu agaknya masih mengikuti ‘pola lama’, karena kita belum melakukan ‘reformasi’ dalam dan terhadap diri kita sendiri. Ego dan kepentingan masih pekat mewarnai niat kita. Tobat kita masih belum nasuha. Istighfar kita -- meminjam istilah wali perempuan dari Basrah, Rabi’ah ‘Adawiyah -- masih membutuhkan istighfar pula.

Istighfar adalah permohonan ampun. Memohon ampun memerlukan pengakuan terhadap dosa dan  sikap merendahkan diri sendiri. Orang yang tidak merasa berdosa atau tidak tahu dosa yang  diperbuatnya, istighfarnya paling hanya sampai sebatas lisan.

Jadi sebelum beristighfar dan bertobat, kita memang perlu melakukan ‘reformasi’ menyeluruh terhadap diri kita sendiri yang telah sekian lama terbenam dalam ‘peradaban’ orde baru-nya Soeharto cs. ‘Peradaban’ yang menyuburkan perangai-perangai  busuk seperti arogansi, kepengecutan, keserakahan, kemunafikan, rahi gedheg (tak tahu malu), dan sebagainya. ‘Peradaban’ yang mengedepankan ego dan kepentingan sendiri. ‘Peradaban’ yang mengagungkan daging dan materi. ‘Peradaban’ mencari selamat sendiri. ‘Peradaban’ yang hanya tahu hak dan mempersetankan tanggungjawab. ‘Peradaban’ yang menjadikan Allah hanya sebagai persinggahan saat perlu mem-bemper-i kehendak. Dst. dst.

Beristighfar dan bertobat bagi yang merasa berdosa dan tahu dosanya pun harus diawali dengan meninggalkan dosanya itu. Mereka yang berdosa ikut membuat kerusakan, tidak cukup hanya beristighfar tanpa mempertanggungjawabkan andil mereka dalam membuat kerusakan itu. Orang yang berdosa melakukan korupsi, misalnya, tidak cukup hanya menadahkan tangan dan berucap “AstaghfiruLlahal ‘Adziem, AstaghfiruLlahal ‘Adziem” saja sambil terus tanpa malu menikmati sisa-sisa hasil korupsinya. Mereka yang ikut membangun sistem yang menyengsarakan rakyat banyak, tidak cukup hanya menyatakan tobat tanpa memperbaiki sikap mereka. Kita yang kemarin diam saja saat melihat kemungkaran terus berlangsung, entah karena takut, sungkan, atau kepentingan-kepentingan sendiri, tidak cukup hanya menyatakan tobat tanpa bertekad untuk tidak mengulangi kelakuan kita itu. Demikian seterusnya.
Oleh KH. Mustofa Bisri
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar