Tiba-tiba aku ingin menukil dan
menurunkan tulisanku 13 tahun yang lalu, ini:
Bahkan sebelum gegap gempita
reformasi – ada yang sempat menghitung 1000 hari sebelum krisis menimpa negeri
ini – beberapa kiai sepuh sudah mengingatkan agar kita berlari kepada Allah dan
berisitighfar, memohon ampunanNya. Mereka sendiri sudah mendahului yang lain.
Mereka semua membaca qunut Nazilah ketika dan setiap kali
bersembahyang dan beristighfar sesudahnya. Di samping itu masing-masing
melakukan amalan-amalan sebisa mereka. Ada yang setiap malam bangun bermunajat
kepada Allah hingga subuh; ada yang setiap malam mengkhatamkan Al-Quran dan
berdzikir bersama santrinya; ada yang meningkatkan puasa Senin-Kemis mereka
dengan puasa Nabi Daud; bahkan ada yang bersama kiai-kiai di sekitarnya
membentuk semacam ‘tim Istikharah’ untuk menjaring isyarat-isyarat langit.
Agaknya mereka itu merasakan,
sebelum atau bersamaan dengan melihat-nya orang-orang yang nuraninya masih
jaga, adanya ketidakberesan yang berlangsung. Bersamaan dengan meningkatnya
frekwensi kengawuran mereka yang ngawur di satu pihak dan semakin gencarnya
koreksi mereka yang melihat ketidakberesan dan berani mengoreksi kengawuran
yang terjadi di pihak lain, para kiai yang tidak pernah diliput media
massa itu pun semakin merundukkan kepala dan semakin keras mengetuk pintuNya.
Anehnya – dan ini cukup mendebarkan
– ketika tuntutan reformasi memuncak dan tanda-tanda keberhasilan tuntutan itu
sudah mulai tampak, bahkan mungkin ada yang sudah berpesta merayakan
kemenangan, para kiai sepuh itu sama sekali tidak mengendorkan mujahadah dan
istighatsah mereka.
Ketika semua orang menyuarakan
reformasi, termasuk mereka yang sebenarnya masuk katagori yang perlu
‘direformasi’, boleh jadi para kiai yang meratap ke langit itu pun
menjadi bahan olok-olok. Bahkan ketika
ada yang bertanya dengan sinis apa yang dilakukan para kiai dalam keadaaan
genting seperti sekarang ini dan dijawab “Para kiai terus berdoa”, komentar
yang lebih sinis pun sepontan dilontarkan: “Keadaan sudah seperti ini kok
hanya berdoa”. Mungkin tidak enak mendengar komentar yang meng-hanya-kan doa
ini, namun bisa dimaklumi. Memang selama ini doa dan istighatsah sudah
terlalu diglangsar, digunakan lebih sebagai semacam kosmetik untuk
menyogok Tuhan bagi kepentingan-kepentingan yang tidak karuan juntrungnya.
Sementara kehidupan serba daging
yang secara sistematis digayakan selama ini, telah menyebabkan kita sebagian
terlalu ngendel-ngendelke, mengandalkan, akal; sebagian lain malah tidak
menggunakan atau kehilangan akal sama sekali. Sedangkan, sebagaimana nurani,
ruh hampir tidak mendapat tempat. Doa yang ruhaniah pun hanya untuk mendukung
kepentingan daging. Atau bahkan doa itu sendiri sudah menjadi “daging doa”.
***
Setelah ‘kepala orde baru yang
lapuk’, Soeharto, lengser, sebagian orang mungkin berpikir bahwa orde yang
lapuk itu pun sudah benar-benar ambruk. Kalau
memang ada pikiran demikian, jelas ini pikiran yang terlalu sederhana.
Orde ini sudah lebih 30 tahun dibina dan diawetkan, bukan oleh ‘kepala’nya
saja. ‘Buntut’-nya –melebihi buntut cicak yang mampu bergerak-gerak
setelah terputus dari kepalanya-- masih panjang.
Orde yang dibina dan diawetkan
sekian lama itu telah menciptakan ‘peradaban’ yang tidak mudah diganti. Bahkan
sadar atau tidak, mental dan budayanya masih melekat atau setidaknya
mempengaruhi hampir semua kita. Lihatlah, ketika kita bicara krisis dan
reformasi, misalnya, tetap saja yang tampak mencuat adalah kepentingan
yang sempit: kepentingan sesaat; kepentingan pribadi; atau kepentingan
kelompok. Sedemikian mencuatnya kepentingan dan interes itu hingga orang tak
lagi jeli tentang apa yang sebenarnya paling mendesak dibutuhkan oleh
masyarakat banyak.
Krisis-krisis yang jalin-berjalin
antara krisis moneter, krisis ekonomi, krisis politik, krisis moral, sampai
krisis kepercayaan dan teori-teori pemulihan keadaan -- dari berbagai
krisis jalin-berjalin itu -- yang hanya mengandalkan akal dan ternyata sampai
saat ini belum memperlihatkan tanda-tanda kemanjurannya pun tampaknya belum
mampu menggerakkan orang untuk benar-benar kembali kepada Pemilik saham
satu-satunya, Allah! Padahal semuanya mengaku yakin bahwa Ialah Yang Maha Kuasa
atas segalanya.
Ada memang yang memandang
krisis-krisis yang melanda kita saat ini sudah menjurus kepada azab Allah
dan untuk menolaknya perlu melakukan ‘pendekatan’ kepada Allah. Memang
menurut Quran, 8. Al-Anfaal: 33, yang dapat menangkal azab Allah itu hanya dua:
kehadiran Nabi Muhammad saw. dan istrighfar. Dan orang pun
beramai-ramai membaca shalawat untuk ‘menghadirkan’ Rasulullah saw dan
beristighfar bahkan beristighastah.
Namun pendekatan kita kepada Allah
itu agaknya masih mengikuti ‘pola lama’, karena kita belum melakukan
‘reformasi’ dalam dan terhadap diri kita sendiri. Ego dan kepentingan masih pekat mewarnai niat kita.
Tobat kita masih belum nasuha. Istighfar kita -- meminjam istilah wali
perempuan dari Basrah, Rabi’ah ‘Adawiyah -- masih membutuhkan istighfar pula.
Istighfar adalah permohonan ampun.
Memohon ampun memerlukan pengakuan terhadap dosa dan sikap merendahkan
diri sendiri. Orang yang tidak merasa berdosa atau tidak tahu dosa yang
diperbuatnya, istighfarnya paling hanya sampai sebatas lisan.
Jadi sebelum beristighfar dan
bertobat, kita memang perlu melakukan ‘reformasi’ menyeluruh terhadap diri kita
sendiri yang telah sekian lama terbenam dalam ‘peradaban’ orde baru-nya
Soeharto cs. ‘Peradaban’ yang menyuburkan
perangai-perangai busuk seperti arogansi, kepengecutan, keserakahan,
kemunafikan, rahi gedheg (tak tahu malu), dan sebagainya. ‘Peradaban’ yang mengedepankan ego dan kepentingan
sendiri. ‘Peradaban’ yang mengagungkan daging dan materi. ‘Peradaban’ mencari
selamat sendiri. ‘Peradaban’ yang hanya tahu hak dan mempersetankan
tanggungjawab. ‘Peradaban’ yang menjadikan Allah hanya sebagai persinggahan
saat perlu mem-bemper-i kehendak. Dst. dst.
Beristighfar dan bertobat bagi yang
merasa berdosa dan tahu dosanya pun harus diawali dengan meninggalkan dosanya
itu. Mereka yang berdosa ikut membuat
kerusakan, tidak cukup hanya beristighfar tanpa mempertanggungjawabkan andil
mereka dalam membuat kerusakan itu. Orang yang berdosa melakukan korupsi,
misalnya, tidak cukup hanya menadahkan tangan dan berucap “AstaghfiruLlahal
‘Adziem, AstaghfiruLlahal ‘Adziem” saja sambil terus tanpa malu menikmati
sisa-sisa hasil korupsinya. Mereka yang ikut membangun sistem yang
menyengsarakan rakyat banyak, tidak cukup hanya menyatakan tobat tanpa
memperbaiki sikap mereka. Kita yang kemarin diam saja saat melihat kemungkaran
terus berlangsung, entah karena takut, sungkan, atau kepentingan-kepentingan
sendiri, tidak cukup hanya menyatakan tobat tanpa bertekad untuk tidak mengulangi
kelakuan kita itu. Demikian seterusnya.
Oleh KH. Mustofa Bisri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar