Oleh KH. Mustofa Bisri
Tidak terasa sudah setahun
kita ditinggalkan oleh Gus Dur, orang yang sangat menyintai kita. Tokoh yang
tidak berhenti memikirkan kita dengan cinta. Untuk memperingati 1 tahun wafat
guru kita itu, ini aku cuplikkan fragmen dari tulisan panjangku:
Yang saya tahu, Gus Dur itu –meski
orang Jawa-- tidak termasuk jenis orang yang senang menyimpan apa yang dia
ingin katakan atau lakukan, bahkan apa yang dia pikirkan. Keyakinannya bahwa
perbedaan itu merupakan hal fitri dan termasuk bagian dari sunnatullah begitu
kuat, sehingga tidak pernah ada padanya rasa khawatir sedikit pun bahwa
apa yang akan ia katakan atau lakukan tidak disetujui orang lain. Dia juga
sering kali tidak setuju sikap orang, mengapa pusing-pusing dengan
ketidaksetujuan orang terhadap sikapnya. Di antara kata-katanya yang masih saya
ingat setiap habis berterusterang (diucapkan ketika kami –saya dan Gus
Dur—masih suka jalan-jalan bersama di Kairo tempo dulu), “Saya katakan atau
tidak, itulah pendapat saya!” Dan dia lebih suka mengatakannya. Pikirannya
mungkin, kalau tidak saya kemukakan, bagaimana orang tahu sikap atau pendapat
saya?
Orang lain mungkin ada yang berpikir,
sesuatu yang diyakini benar atau baik, belum tentu benar dan baik dikatakan.
Gus Dur saya kira tidak begitu. Bila dia meyakini apa yang akan dikatakan
benar, dia akan mengatakannya. Bila dia yakin sesuatu baik dilakukan, dia akan
melakukannya. Kalau dia sangat yakin dia akan ngotot. Orang nantinya tidak
setuju ya biar. Dia sendiri kan juga sering tidak setuju pendapat atau sikap
orang lain. Kalau orang lain yang tidak setuju juga ngotot? Ya adu argumen.
Begitu saja kok repot!
Contoh yang masih segar dalam
ingatan adalah pendapatnya mengenai pencabutan Tap MPRS No. XXV/1966 tentang
larangan Komunisme, Leninisme, dan Marxisme. Itu pendapatnya; dia katakan atau
tidak. Gus Dur mungkin tidak mempertimbangkan reaksi orang terhadap pendapatnya
itu, terutama reaksi orang yang sejak awal tidak menyukainya. Dia kelihatannya
juga cuek kalaupun pendapatnya itu bisa dijadikan senjata bagi mereka yang
tidak menyukainya untuk menyerang atau menyudutkannya. ‘Saya menyampaikan
pendapat berdasarkan keyakinan yang didukung argumen. Yang tidak setuju
silakan mengemukakan argumennya.’ Begitu mungkin pikirnya. Tentu tak
terpikirkan oleh Gus Dur bahwa orang kita masih banyak yang tomtomen, trauma
dengan kebiasan zaman presiden Suharto yang kalau punya pendapat akan menjadi
kenyataan, karena MPR dan DPR waktu itu dan selama ini hanya ikut apa kata
presiden.
‘Keberanian berbeda’ itu saya pikir,
antara lain dan terutama karena Gus Dur sudah terbiasa berbeda dalam
lingkungannya, termasuk dalam keluarganya. Almarhumah Ibu Wahid Hasyim (saya
mengenalnya sebelum saya kenal Gus Dur) adalah seorang ibu dan sekaligus kepala
keluarga yang --seperti juga Almarhum Kiai Wahid Hasyim sendiri, rahimahumallah--
sangat demokrat dan menghormati perbedaan. Lihatlah putra-putra beliau dalam
pemilu kemarin, Gus Dur mendukung PKB, mbak A’isyah Golkar, mas Salahuddin di
PKU, dan Gus Hasyim di PDI-P.
Kakek-kakek, paman-paman, dan
kiai-kiainya yang saya kenal, juga orang-orang yang minimal tidak
pernah menganggap perbedaan sebagai hal yang haram. Kiai Bisri Samsuri dan Kiai
Wahab Hasbullah, ‘dwi tunggal’ yang hampir tidak pernah berpisah dalam memimpin
NU –Allah yarhamhum-- misalnya, hampir selalu berbeda pendapat
dalam berbagai persoalan. Mungkin karena yang satu pendekatannya lebih kepada
fiqh dan yang lain usul fiqh. Dan terbukti perbedaan antara mereka yang
sering kali begitu tajam, tidak pernah menimbulkan persoalan di kalangan NU;
bahkan banyak yang menganggapnya rahmah. Satu dan lain hal, karena orang NU
banyak; jadi dalam masalah yang menyangkut kepentingan orang banyak, ada yang
merasa mantap didukung Kiai Bisri, ada yang merasa ayem diayomi Kiai Wahab. Pak
Yusuf Hasyim, paman Gus Dur, mungkin Anda pun sudah tahu sendiri; bagaimana
setiap kali berbeda bahkan saling kecam dengan keponakannya yang dicintainya
itu.
Di antara kiai-kiai Gus Dur yang
sempat saya kenal secara pribadi, antara lain Kiai A. Fattah dan Kiai Ali
Maksum –Allah yarhamhum. Mereka juga demikian. Mereka ini mungkin
termasuk sedikit kiai yang mau –bahkan agaknya senang—berdiskusi dengan
anak-anak muda, termasuk santrinya sendiri.
Konsekwensi --yang barangkali sangat
disadari oleh Gus Dur sendiri— dari sikapnya yang tidak suka ‘memendam sikap’
dan cueknya terhadap reaksi pro-kontra orang itu, Gus Dur pun menjadi tokoh
kontroversial sejati yang dipuja sekaligus dalam waktu yang sama dibenci.
Konsekwensi ini menurut saya justru lebih merugikan kedua belah pihak yang
memuja dan membencinya, katimbang Gus Dur sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar