1 / 3
belajar satu
2 / 3
belajar 2
3 / 3
Caption Three

Selasa, 24 Januari 2017

MENGENANG GUS DUR



Oleh KH. Mustofa Bisri
Tidak terasa sudah setahun  kita ditinggalkan oleh Gus Dur, orang yang sangat menyintai kita. Tokoh yang tidak berhenti memikirkan kita dengan cinta. Untuk memperingati 1 tahun wafat guru kita itu, ini aku cuplikkan fragmen dari tulisan panjangku:

Yang saya tahu, Gus Dur itu –meski orang Jawa-- tidak termasuk jenis orang yang senang menyimpan apa yang dia ingin katakan atau lakukan, bahkan apa yang dia pikirkan. Keyakinannya bahwa perbedaan itu merupakan hal fitri dan termasuk bagian dari sunnatullah begitu kuat, sehingga tidak pernah ada padanya rasa khawatir sedikit pun  bahwa apa yang akan ia katakan atau lakukan tidak disetujui orang lain. Dia juga sering kali tidak setuju sikap orang, mengapa pusing-pusing dengan ketidaksetujuan orang terhadap sikapnya. Di antara kata-katanya yang masih saya ingat setiap habis berterusterang (diucapkan ketika kami –saya dan Gus Dur—masih suka jalan-jalan bersama di Kairo tempo dulu), “Saya katakan atau tidak, itulah pendapat saya!” Dan dia lebih suka mengatakannya. Pikirannya mungkin, kalau tidak saya kemukakan, bagaimana orang tahu sikap atau pendapat saya?


Orang lain mungkin ada yang berpikir, sesuatu yang diyakini benar atau baik, belum tentu benar dan baik dikatakan. Gus Dur saya kira tidak begitu. Bila dia meyakini apa yang akan dikatakan benar, dia akan mengatakannya. Bila dia yakin sesuatu baik dilakukan, dia akan melakukannya. Kalau dia sangat yakin dia akan ngotot. Orang nantinya tidak setuju ya biar. Dia sendiri kan juga sering tidak setuju pendapat atau sikap orang lain. Kalau orang lain yang tidak setuju juga ngotot? Ya adu argumen. Begitu saja kok repot!

Contoh yang masih segar dalam ingatan adalah pendapatnya mengenai pencabutan Tap MPRS No. XXV/1966 tentang larangan Komunisme, Leninisme, dan Marxisme. Itu pendapatnya; dia katakan atau tidak. Gus Dur mungkin tidak mempertimbangkan reaksi orang terhadap pendapatnya itu, terutama reaksi orang yang sejak awal tidak menyukainya. Dia kelihatannya juga cuek kalaupun pendapatnya itu bisa dijadikan senjata bagi mereka yang tidak menyukainya untuk menyerang atau menyudutkannya. ‘Saya menyampaikan pendapat berdasarkan keyakinan yang didukung  argumen. Yang tidak setuju silakan mengemukakan argumennya.’ Begitu mungkin pikirnya. Tentu tak terpikirkan oleh Gus Dur bahwa orang kita masih banyak yang tomtomen, trauma dengan kebiasan zaman presiden Suharto yang kalau punya pendapat akan menjadi kenyataan, karena MPR dan DPR waktu itu dan selama ini hanya ikut apa kata presiden. 

‘Keberanian berbeda’ itu saya pikir, antara lain dan terutama karena Gus Dur sudah terbiasa berbeda dalam lingkungannya, termasuk dalam keluarganya. Almarhumah Ibu Wahid Hasyim (saya mengenalnya sebelum saya kenal Gus Dur) adalah seorang ibu dan sekaligus kepala keluarga yang  --seperti juga Almarhum Kiai Wahid Hasyim sendiri, rahimahumallah-- sangat demokrat dan menghormati perbedaan. Lihatlah putra-putra beliau dalam pemilu kemarin, Gus Dur mendukung PKB, mbak A’isyah Golkar, mas Salahuddin di PKU, dan Gus Hasyim di PDI-P.

Kakek-kakek, paman-paman, dan kiai-kiainya yang saya kenal,  juga orang-orang yang minimal  tidak pernah menganggap perbedaan sebagai hal yang haram. Kiai Bisri Samsuri dan Kiai Wahab Hasbullah, ‘dwi tunggal’ yang hampir tidak pernah berpisah dalam memimpin NU –Allah yarhamhum-- misalnya, hampir selalu berbeda  pendapat dalam berbagai persoalan. Mungkin karena yang satu pendekatannya lebih kepada fiqh dan yang lain usul fiqh. Dan terbukti perbedaan  antara mereka yang sering kali begitu tajam, tidak pernah menimbulkan persoalan di kalangan NU; bahkan banyak yang menganggapnya rahmah. Satu dan lain hal, karena orang NU banyak; jadi dalam masalah yang menyangkut kepentingan orang banyak, ada yang merasa mantap didukung Kiai Bisri, ada yang merasa ayem diayomi Kiai Wahab. Pak Yusuf Hasyim, paman Gus Dur, mungkin Anda pun sudah tahu sendiri; bagaimana setiap kali berbeda bahkan saling kecam dengan keponakannya yang dicintainya itu.

Di antara kiai-kiai Gus Dur yang sempat saya kenal secara pribadi, antara lain Kiai A. Fattah dan Kiai Ali Maksum –Allah yarhamhum. Mereka juga demikian. Mereka ini mungkin termasuk sedikit kiai yang mau –bahkan agaknya senang—berdiskusi dengan anak-anak muda, termasuk santrinya sendiri.

Konsekwensi --yang barangkali sangat disadari oleh Gus Dur sendiri— dari sikapnya yang tidak suka ‘memendam sikap’ dan cueknya terhadap reaksi pro-kontra orang itu, Gus Dur pun menjadi tokoh kontroversial sejati yang dipuja sekaligus dalam waktu yang sama dibenci. Konsekwensi ini menurut saya justru lebih merugikan kedua belah pihak yang memuja dan membencinya, katimbang Gus Dur sendiri.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar