1 / 3
belajar satu
2 / 3
belajar 2
3 / 3
Caption Three

Selasa, 31 Januari 2017

Mohammad Natsir, Pemikir-Negarawan


 
Muhammad Amien Rais

Pada paruh kedua abad ke-20, Dunia Islam menyaksikan setidaknya tiga fenomena kebangkitan Islam yang di samping memiliki persamaan, juga perbedaan: pertama, al-Ikhwan al-Muslimun di Mesir dengan protagonisnya Sayyid Qutub; kedua, Jama’at al-Islami di Pakistan yang dipimpin oleh Abul A’la al-Maududi; dan ketiga, Partai Islam Masyumi di Indonesia dengan tokohnya yang paling terkenal, Dr. Mohammad Natsir.

Ketiga tokoh Islam dunia itu hampir sebaya, dan sama-
sama pernah merasakan masuk-keluar penjara. Sayyid Qutub bahkan meninggal syahid di tiang gantungan. Maududi pernah dijatuhi hukuman mati, kemudian dibebaskan karena tekanan internasional pada pemerintah Pakistan. Pak Natsir sempat “beristirahat” di penjara selama empat tahun (1961-1965) sebelum bergiat lagi di medan dakwah dan pendidikan.

Ketiganya amat produktif dalam menulis dan memasyarakatkan gagasannya. Qutub menulis antara lain kitab tafsir fi dzilal al-Qur’an, Maududi tafhim-al-Qur’an, Natsir fiqh al-dakwah, di samping dua jilid Capita Selecta. Dari ketiga tokoh besar itu hanya Pak Natsir yang pernah menduduki posisi kenegaraan, sebagai perdana menteri. Ketiganya telah tiada, namun kepemimpinannya, integritasnya, keberaniannya, kearifannya, dan sumbangan masing-masing pada pemikiran ke-Islam-an kontemporer tetap menjadi teladan dan rujukan banyak kalangan.

Banyak pengamat Barat menengarai bahwa al-Ikhwan, Jama’at al-Islami, dan Masyumi tergolong apa yang mereka namakan fundamentalisme Islam. Tidak ada pengertian yang bulat mengenai apa yang dinamakan fundamentalisme itu. Tetapi, bila yang dimaksudkan bahwa ketiga gerakan atau partai Islam itu adalah untuk menjadikan Islam, agama wahyu, sebagai landasan kehidupan dunia dalam segala aspeknya, memang tidak keliru. Ketiganya meyakini bahwa Islam diturunkan ke dunia lewat para nabi dan rasul dimaksudkan sebagai pedoman hidup integral manusia. Inilah persamaan mendasar antara Qutub, Maududi, dan Natsir.

Namun teoritisasi konsep yang sama itu berbeda dalam elaborasi dan implementasinya. Qutub melihat abad ke-20 sebagai abad jahiliah. Dua tahun pengalamannya di Amerika Serikat semakin meyakinkan Qutub bahwa kehidupan Dunia Barat mencerminkan materialisme, hedonisme, rasisme, permisifisme, dan kehidupan serba dang­kal. Kehidupan hedonistik itu tidak boleh menggenangi Dunia Islam. Qutub mengobarkan al-inqilab al-Islami ad-duwali, revolusi Islam internasional.

Dunia Islam harus memukul balik pengaruh Barat yang jahiliah. Ketika Gamal Abdul Nasser menggulingkan pemerintahan monarki Raja Farouk pada 1952, Qutub merapat ke Nasser. Akan tetapi, ketika ternyata Nasser mengembangkan ideologi nasionalisme sekuler dan tidak menjadikan Islam sebagai dasar negara, keduanya mulai berhadapan. Ketika ada percobaan pembunuhan terhadap Nasser pada 1954 oleh sempalan al-Ikhwan, Qutub dipenjara dan akhirnya digantung pada 1964.

Dia meninggal dengan tragis tetapi pikiran-pikiran revolusionernya terus berpengaruh di berbagai pojok dunia, terutama di kalangan anak muda dan mahasiswa. Karya pentingnya, Ma’alim fi al-thariq, di samping kitab tafsirnya, terus dibaca oleh generasi muda dan dapat mengobarkan semangat revolusioner mereka. Bahkan ada spekulasi intelektual bahwa sampai batas tertentu pikir­an-pikiran Qutub telah memberikan andil pada teoritisasi revolusi Islam dari Ayatullah Imam Khomeini.

Maududi menebarkan sejumlah gagasannya secara lebih canggih. Penguasaannya dalam berbagai ilmu ke-Islam-an cukup mendalam. Pemahamannya pada pengetahuan ekonomi dan filsafat modern tampak kuat. Ia mendalami teori-teori ekonomi neo-klasik dan juga memahami berbagai model ekonomi Keynesian. Maududi tidak percaya kapitalisme dapat membawa kesejahteraan, karena membiarkan keserakahan manusia tanpa batas dan menjadikan profit (laba) sebagai nilai tertinggi serta diremehkannya nilai-nilai etika.

Maududi memperkenalkan teori theodemokrasi. Rakyat diberi hak pilih hanya untuk menentukan pelaksanaan hukum Islam, karena kedaulatan sejati ada di tangan Tuhan. Rakyat memilih anggota legislatif bukan untuk membuat legislasi atau perundang-undangan yang bersifat man-made (buatan manusia) tetapi sekadar mengesahkan pelaksanaan hukum Allah. Kaum perempuan diseyogiakan untuk lebih banyak tinggal di rumah agar memudahkan tegaknya disiplin sosial. Mereka yang nonmuslim diberi hak sepenuhnya sebagai warga negara, namun perlu membayar sekadar pungutan finansial.

Yang diuraikan di atas tentu hanya pemikiran Qutub dan Maududi selayang pandang. Bagaimana dengan Mohammad Natsir? Pemimpin terpenting Masyumi ini juga memperkenalkan teori theodemokrasi. Hanya pemahamannya lebih longgar: Quran dijadikan bukan sebagai kitab hukum tetapi sebagai sumber hukum abadi. Sebagai sumber hukum, Quran bersifat abadi, selalu cocok untuk setiap zaman, di mana pun dan kapan pun manusia hidup.

Prinsip hukum Islam adalah semuanya boleh dilakukan kecuali yang dilarang. Seorang muslim boleh melakukan ijtihad sejauh-jauhnya, tetapi selalu ada batas mana yang haq dan yang bathil serta mana halal dan haram. Seperti hadis Imam Ahmad yang diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri, Nabi SAW mengumpamakan seorang beriman dengan seekor kuda yang diikat pada sebuah tiang. Kuda itu dapat merumput ke segenap penjuru sesuai dengan panjangnya tali yang mengikatnya. Bukan kebebasan tanpa batas.

Sudah lebih dari setengah abad lalu Pak Natsir mengingatkan bahwa demokrasi sekuler dapat berujung pada berbagai musibah kemanusiaan. Tanpa intervensi wahyu, manusia dapat terperangkap pada dorongan nafsu hewaniah dan meluncur ke arah anarki, chaos atau faudhau. Pak Natsir amat memahami teori dan praktek demokrasi, tetapi sekaligus melihat dengan jernih keterbatasannya. Theodemokrasi adalah demokrasi yang dibimbing oleh kebenaran wahyu.

Saya yakin tulisan para tokoh Islam seperti H.O.S. Tjo­kroaminoto, Haji Agus Salim, dan Mohammad Natsir sebelum proklamasi kemerdekaan 1945 secara langsung atau tidak telah meresap ke dalam sanubari kesadaran nasional bangsa Indonesia. Bila kita jujur, kita akan meyakini bahwa demokrasi yang kita anut sesuai dengan UUD 1945 bukanlah demokrasi sekuler, tetapi beraroma theodemokrasi.

Seorang demokrat sekuler dari Barat mungkin sulit mencerna demokrasi kita, karena konstitusi kita menyatakan hitam di atas putih bahwa “the State shall be based upon the belief in One God and Only God”, sementara pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kita senantiasa disertai “with highest respect for religious values”. Tetapi justru aroma theodemokrasi inilah yang menjamin demokrasi Indonesia tidak akan mengalami kehancuran.

Tidak berlebih jika dikatakan bahwa pandangan Natsir tentang demokrasi bersifat profetik dan visioner. Kita menyaksikan kehancuran demokrasi sekuler di berbagai kawasan dunia. Rasialisme muncul dengan amat kentara di belahan dunia yang berpaham demokrasi. Sehingga ­rasisme struktural sulit diberantas di Inggris, Prancis, Jerman, dan negara-negara Eropa Barat lain. Kaum imigran menjadi warga kelas dua dan menjadi bulan-bulanan kelompok skin-head yang rasialis dan xenofobik.

Dengan konstitusi kita yang sarat dengan nilai-nilai agama, rasanya kita tidak akan terjebak ke dalam demokrasi bohong-bohongan seperti kita saksikan di panggung dunia sekarang. Rasisme, pencucian etnis, hedonisme, imoralisme, imperialisme ekonomi dan kolonialisme telanjang atas nama demokrasi telah membawa kemanusiaan di awal abad ke-21 kepada kesengsaraan yang makin luas.
Aroma theodemokrasi seperti digagas Pak Natsir yang menyelinap ke dalam UUD 1945 menjadi garansi atau jaminan bahwa bangsa Indonesia tidak akan jatuh ke kubangan demokrasi liberal dengan segala macam implikasi destruktif. Bangsa Indonesia akan bersama melawan siapa pun dan kelompok mana pun yang berusaha mengembangkan rasisme, diskriminasi, dan kesewenang-wenangan (istibdad), oleh karena tidak ada nilai-nilai agama universal yang membolehkannya.

Bangsa Indonesia, seperti halnya bangsa lain, tidak melahirkan banyak negarawan sekalipun memproduksi banyak politikus. Menurut sebuah kasus, negarawan adalah seorang yang memanfaatkan kepemimpinan politiknya secara arif dan waskita tanpa dibarengi kesetiaan sempit.

Sebuah teori kepemimpinan mengatakan negarawan adalah seorang yang memiliki wawasan dan moral yang jernih, konsistensi, persistensi, kemampuan berkomunikasi dan berjiwa besar. Pak Natsir memiliki itu semua. Keterlibatannya dalam PRRI didorong perlawanannya terhadap pemerintah pusat yang sewenang-wenang dan dalam usaha melawan komunisme. Saya setuju dengan banyak tokoh bangsa yang berpendapat bahwa hakikatnya Pak Natsir adalah pahlawan. Dengan mosi integralnya ia telah memberikan keteladanan tinggi bagaimana menjadi seorang pemimpin bangsa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar