Oleh KH. Mustofa Bisri
Tulisan saya yang lain di akhir
Ramadan:
Hari-hari Ramadan telah kita lalui
dengan berbagai kegiatan dan aktivitas yang galibnya lain dari hari-hari lain
di bulan-bulan lain. Mulai dini hari, kaum muslimin biasanya
bersama-sama keluarga melakukan ‘ritual’ santap sahur; sore ngabuburit,
‘membunuh waktu’ menunggu saat berbuka; lalu ‘ritual’ santap buka;
kemudian beramai-ramai melaksanakan salat Taraweh dan Tadarusan; sampai
acara-acara seremonial buka bersama, tarling (taraweh keliling), dan
ceramah-ceramah keagamaan.
Kegiatan-kegiatan lain biasanya juga
diupayakan dapat bernuansa ibadah, setidaknya dilabeli dengan label yang
mengesankan keislaman, seperti Roadshow Safari Ramadan; Gelar
Ta’jil; Konser Seni dan Dakwah, Takbir Akbar, dlsb.
Yang mungkin agak tidak populer
adalah kegiatan Ramadan model zaman kanjeng Nabi Muhammad SAW: i’tikaf.
Berdiam diri tafakur di rumah Tuhan. Bahkan agaknya memang ‘berdiam diri’ itu
sendiri sudah merupakan sesuatu yang mewah di zaman gaduh dan sibuk sekarang
ini. Berdiam diri melakukan kontemplasi mungkin malah dianggap bukan
kegiatan sama sekali.
Padahal bulan suci Ramadan merupakan
satu-satunya saat paling kondusif untuk melakukan perenungan. Bulan yang citra,
gaya, dan nuansanya sama sekali beda dari sebelas bulan yang lain. Kalau
bulan-bulan lain lebih terasa duniawi, maka bulan yang satu ini terasa benar
‘ukhrawi’nya, keakhiratannya. Bahkan pengusaha-pengusaha pun dalam mencari
keuntungan duniawi menemukan celah dalam kegiatan peribadatan bulan
ini.
Boleh jadi karena minimnya
perenungan, kita sering terkecoh oleh diri kita sendiri. Kita sering keliru
dalam merasa, salah dalam anggapan, hanya karena kegiatan-kegiatan
rutin yang tidak sempat kita renungkan. Sikap atau kegiatan yang
sudah berlangsung lama, karena tidak pernah sempat kita renungkan, umumnya kita
anggap sudah benar dan karenanya kila langsungkan terus. Padahal bila
kita mau menyempatkan diri merenung, akan terbukti kekeliruannya. Kita ambil
contoh kecil: kegemaran kita bermain pengeras suara di mesjid-mesjid dan
mushalla-mushalla. Tidak hanya adzan yang kita lantunkan; tapi segala macam hal
yang kita anggap syiar dan Islami, kita kumandangakan ke seantero penjuru.
Agaknya kita jarang merenungkan: apakah hal seperti ini wajib, sunnah,
mubah, makruh, atau haram? Karena sudah berlangsung lama dan MUI tidak
pernah berfatwa makruh atau haram, maka kita pun tidak perlu bersusah
payah merenungkannya. Kita merasa sudah benar. Karena sudah berlangsung lama
dan tidak ada yang protes, kita pun tidak merasa perlu merenungkan apakah
suara-suara itu mengganggu orang atau tidak? Apakah mereka yang tidak protes,
meski terganggu itu, karena rela atau takut ?
Himbauan untuk menghormati
Ramadan bahkan sering disertai amar penutupan warung-warung, misalnya lagi,
karena sudah berlangsung setiap Ramadan, maka kita menganggapnya wajar. Padahal
dengan sedikit perenungan, kita akan segera tahu kejanggalannya. Contoh-contoh
lain masih banyak tentang keliru merasa dan salah anggapan akibat tiadanya
perenungan ini.
Salah merasa dan beranggapan ini
bisa berakibat fatal bila Allah tidak merahmati kita dengan mengilhamkan
perlunya perenungan. Kita bisa merasa berbuat ibadah, padahal bukan. Kita
merasa beramar-makruf nahi-munkar, padahal sedang berbuat anarki.
Sebaliknya kita bisa menganggap sesuatu perbuatan sebagai amal duniawi
semata, padahal sangat ukhrawi.
Wakil–wakil rakyat yang ngotot
membangun gedung kantornya sedemikian megah dengan biaya dari rakyat sedemikian
besar, pastilah tidak sempat merenung tentang, misalnya, memadaikah
kegunaan gedung dan relevansinya dengan tugas-tugas mereka serta besarnya
biaya? Apalagi berpikir tentang betapa tersakitinya rakyat yang mereka wakili
yang selama ini belum pernah merasakan nasibnya membaik karena mereka
perjuangkan.
Kelompok yang dengan angkuh merasa
paling benar dan paling mulia sendiri di sisi Allah hanya karena
berpakaian mirip Rasulullah SAW dan imamnya fasih melafalkan satu-dua
ayat, pastilah mereka tidak sempat sedikit merenung, misalnya bahwa Rasulullah SAW yang pakaiannya
mereka tiru itu wajahnya senantiasa tersenyum dan sama sekali tidak
sangar seperti mereka. Bahwa pribadi Rasulullah SAW yang agamanya hendak
mereka bela , adalah pribadi agung yang sangat santun; beradab baik di hadapan
Allah maupun di hadapan hamba-hambaNya. Pribadi yang tridak pernah
melaknat dan menyakiti sesama. Bahkan beliau bersabda dalam hadis shahih: “Al-muslimu
man salimal muslimuun min lisaanihi wayadihi “. Muslim sejati
ialah orang yang selalu menjaga agar lisan dan tangannya tidak melukai
sesamanya.
Nah, apabila i’tikah dan tafakkur
kita kemarin-kemarin terasa kurang, kita masih punya waktu setidaknya untuk
merenungkan Ramadan kita,dan puasa kita bagi kepentingan memulai
kehidupan –terutama kehidupan keberagamaan kita -- yang baru, yang lebih
islami, yang lebih samawi, yang lebih manusiawi, yang lebih beradab.
Akhirnya, saya sampaikan Selamat
Hari Raya Fitri 1431. Kullu ‘aamin wa Antum bikhair. Mohon maaf lahir batin
atas segala kesalahan dan kekhilafan saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar