1 / 3
belajar satu
2 / 3
belajar 2
3 / 3
Caption Three

Selasa, 24 Januari 2017

PERENUNGAN DI AKHIR RAMADAN



Oleh KH. Mustofa Bisri
Tulisan saya yang lain di akhir Ramadan:  

Hari-hari Ramadan telah kita lalui dengan berbagai kegiatan dan aktivitas yang galibnya lain dari hari-hari lain di bulan-bulan lain. Mulai dini hari, kaum muslimin biasanya  bersama-sama keluarga melakukan ‘ritual’ santap sahur; sore ngabuburit, ‘membunuh waktu’ menunggu saat berbuka; lalu ‘ritual’ santap buka;  kemudian beramai-ramai melaksanakan salat Taraweh dan Tadarusan;  sampai acara-acara seremonial buka bersama, tarling (taraweh keliling), dan ceramah-ceramah keagamaan.

Kegiatan-kegiatan lain biasanya juga diupayakan dapat bernuansa ibadah, setidaknya dilabeli dengan label yang mengesankan keislaman, seperti  Roadshow Safari Ramadan;  Gelar Ta’jil; Konser  Seni dan Dakwah, Takbir Akbar, dlsb.


Yang mungkin agak tidak populer adalah kegiatan Ramadan model zaman kanjeng Nabi Muhammad SAW:  i’tikaf. Berdiam diri tafakur di rumah Tuhan. Bahkan agaknya memang ‘berdiam diri’ itu sendiri sudah merupakan sesuatu yang mewah di zaman gaduh dan sibuk sekarang ini. Berdiam diri melakukan kontemplasi mungkin malah dianggap bukan kegiatan sama sekali.

Padahal bulan suci Ramadan merupakan satu-satunya saat paling kondusif untuk melakukan perenungan. Bulan yang citra, gaya, dan nuansanya sama sekali beda dari sebelas bulan yang lain. Kalau bulan-bulan lain lebih terasa duniawi, maka bulan yang satu ini terasa benar ‘ukhrawi’nya, keakhiratannya. Bahkan pengusaha-pengusaha pun dalam mencari keuntungan duniawi  menemukan celah  dalam kegiatan peribadatan bulan ini.

Boleh jadi karena minimnya perenungan, kita sering terkecoh oleh diri kita sendiri. Kita sering keliru dalam merasa,  salah dalam anggapan, hanya karena  kegiatan-kegiatan rutin yang tidak sempat kita renungkan.  Sikap  atau kegiatan yang sudah berlangsung lama, karena tidak pernah sempat kita renungkan, umumnya kita anggap sudah benar dan karenanya  kila langsungkan terus. Padahal bila kita mau menyempatkan diri merenung, akan terbukti kekeliruannya. Kita ambil contoh kecil: kegemaran kita bermain pengeras suara di mesjid-mesjid dan mushalla-mushalla. Tidak hanya adzan yang kita lantunkan; tapi segala macam hal yang kita anggap syiar dan Islami, kita kumandangakan ke seantero penjuru. Agaknya kita jarang  merenungkan: apakah hal seperti ini wajib, sunnah, mubah, makruh, atau haram? Karena  sudah berlangsung lama dan MUI tidak pernah berfatwa makruh atau haram, maka kita pun  tidak perlu bersusah payah merenungkannya. Kita merasa sudah benar. Karena sudah berlangsung lama dan tidak ada yang protes, kita pun tidak merasa  perlu merenungkan apakah suara-suara itu mengganggu orang atau tidak? Apakah mereka yang tidak protes, meski terganggu itu, karena rela atau takut ?

Himbauan untuk menghormati  Ramadan bahkan sering disertai amar penutupan warung-warung, misalnya lagi, karena sudah berlangsung setiap Ramadan, maka kita menganggapnya wajar. Padahal dengan sedikit perenungan, kita akan segera tahu kejanggalannya. Contoh-contoh lain masih banyak tentang keliru merasa dan salah anggapan akibat tiadanya perenungan ini.

Salah merasa dan beranggapan ini bisa berakibat fatal bila Allah tidak merahmati kita dengan mengilhamkan perlunya perenungan. Kita  bisa merasa berbuat ibadah, padahal bukan. Kita merasa beramar-makruf nahi-munkar, padahal sedang  berbuat anarki. Sebaliknya kita bisa menganggap sesuatu perbuatan sebagai amal  duniawi semata, padahal sangat ukhrawi.  

Wakil–wakil rakyat yang ngotot membangun gedung kantornya sedemikian megah dengan biaya dari rakyat sedemikian besar, pastilah tidak sempat merenung tentang, misalnya,  memadaikah kegunaan gedung dan relevansinya dengan tugas-tugas mereka serta besarnya biaya? Apalagi berpikir tentang betapa tersakitinya rakyat yang mereka wakili yang selama ini belum pernah merasakan nasibnya  membaik karena mereka perjuangkan.

Kelompok yang dengan angkuh merasa paling benar dan paling mulia sendiri di sisi Allah hanya  karena berpakaian mirip Rasulullah SAW dan imamnya fasih melafalkan satu-dua ayat,  pastilah mereka tidak sempat sedikit merenung, misalnya bahwa  Rasulullah SAW yang pakaiannya mereka tiru itu wajahnya senantiasa  tersenyum dan  sama sekali tidak sangar seperti mereka. Bahwa pribadi Rasulullah SAW yang agamanya  hendak mereka bela , adalah pribadi agung yang sangat santun; beradab baik di hadapan Allah maupun di hadapan hamba-hambaNya.  Pribadi yang tridak pernah melaknat dan menyakiti sesama. Bahkan beliau bersabda dalam hadis shahih: “Al-muslimu man salimal muslimuun min lisaanihi wayadihi “.  Muslim sejati  ialah orang yang selalu menjaga agar lisan dan tangannya  tidak melukai sesamanya.

Nah, apabila i’tikah dan tafakkur kita kemarin-kemarin terasa kurang, kita masih punya waktu setidaknya untuk merenungkan Ramadan kita,dan puasa kita  bagi  kepentingan memulai kehidupan –terutama kehidupan keberagamaan kita --  yang baru, yang lebih islami, yang  lebih samawi, yang lebih manusiawi, yang lebih beradab.

Akhirnya, saya sampaikan Selamat Hari Raya Fitri 1431. Kullu ‘aamin wa Antum bikhair. Mohon maaf lahir batin atas segala kesalahan dan kekhilafan  saya.    


Tidak ada komentar:

Posting Komentar