_Oleh: Much. Khoiri_
_(Dosen Unesa dan penulis buku)_
Menulis itu seni, _writing is an art_. Sebagai proses (kreasi) seni, menulis itu mengekspresikan dan mengkomunikasikan ide dengan estetis. Estetis itu indah dan memuaskan rasa manusia berkat keindahannya.
Ketika menulis itu dijalani dengan menerapkan nilai-nilai estetika, hasilnya diharapkan berupa sebuah tulisan yang estetis pula--indah dan memuaskan rasa manusia. Antara proses dan hasil terdapat hubungan kausalitas. Normatifnya begitu. Jika menclek, bertanyalah pada rumput yang bergoyang.
Di mana letak estetisnya proses menulis? Ia berada dalam unsur-unsur (proses) penciptaan--dan mengarah ke hasilnya. Bukan hanya pada pemilihan ide dan pengorganisasiannya, melainkan juga lebih pada penggunaan bahasa. Loh, kok bisa?
Dalam menggali dan memilih ide, bagi penulis yang berjiwa seni, filter nilai estetika bermain. Orang yang berjiwa seni tinggi, dia akan "classy" (pilih-pilih) ide dari sekian ide yang berhasil digali dan dikembangkan dalam peta pikiran ( _mind mapping_). Untuk memilih ide terbagus, harusnya punya ide banyak! Biasanya dia mengejar hingga ide yang paling unik dan layak digarap. Dia juga menyiapkan rincian-rincian dari ide dasar yang ditangkapnya.
Dalam pengorganisasian idenya, dia mengikuti ke mana ide mencari bentuk (struktur), yakni genre tulisan. Ide itu mungkin mengajaknya menulis puisi, cerpen, drama, reportase, artikel opini, catatan harian, _feature_, dan sebagainya. Dalam masing-masing genre, mungkin akan diputuskan untuk menggunakan pembuka, bahasan, dan penutup tertentu. Di dalamnya mungkin juga akan disisipkan pesan-pesan tertentu yang paling mengikat ( _twist_).
Dalam menulis esai, ada teknik pengembangan yang linier, runtut satu persatu. Ada juga yang berkumpar seperti spiral dalam penalarannya. Jika orang membandingkan dua benda, maka ia bisa memaparkan seluruh aspek A dulu dan kemudian seluruh aspek B. Namun, ia juga bisa membandingkannya per aspek dari dua benda itu. Mana pun yang dipilih, itu hak penulis untuk melakukannya--sekaligus unjuk kecakapannya.
Penggunaan bahasa juga demikian. Jiwa seni sangat dibutuhkan di sini. Setiap kata mewakili maksud atau makna yang diinginkan. Maka, bijak kiranya jika orang menggunakan kata sesuai tuntutan genre tulisan. Tidak pas menulis esai dengan bahasa puisi yang konotatif. Analoginya, tidak pas menulis puisi dengan bahasa ilmiah dan denotatif seutuhnya.
Selanjutnya, untuk mengembangkan tulisan, orang bisa memberi penjelasan, contoh, kasus, statistik, kutipan, atau berita. Namun, orang kreatif bisa menambah atau menggunakan alternatif berupa peribahasa, kata mutiara, anekdot, dan sejenisnya. Banyak peluang bisa diambil untuk memperkaya dan memperindah tulisan.
Itulah seninya menulis. Lincah menggali dan memilih ide, terampil mengorganisasikannya, dan cakap dalam menerapkan kemampuan bahasanya. Jika demikian, sebagai seniman penulis, dia seakan lincah berakrobat dalam eksperimen menulis. Makin terasah, dia makin potensial menghasilkan tulisan yang berbobot dan memancarkan keindahan makna. Boleh ringan, namun isinya berbobot.
Sejauh itu, jika seseorang punya jiwa seni tinggi, dan jika dia dipaksa untuk menulis, dia akan punya selera tinggi dalam menggali dan memilih ide. Adapun masalah pengorganisasian dan penggunaan bahasa, bergantung pada tingkat pengalaman menulisnya. Di tangan penulis berpengalaman, ide bagus niscaya akan jadi tulisan bagus. Saya hanya menduga, penulis yang bagus adalah dia yang berjiwa seni tinggi.*
_Gresik, 05/02/17_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar