1. Kurikulum Pendidikan Islam Sebelum Berdirinya Masrasah
a. Kurikulum Pendidikan Rendah
Terdapat kesukaran ketika ingin membatasi mata pelajaran-mata pelajaran yang membentuk kurikulum untuk semua tingkat pendidikan yang bermacam-macam. Pertama, karena tidak adanya kurikulum yang terbatas, baik untuk tingkat rendah maupun tingkat penghabisan, kecuali Al-qur’an yang terdapat pada seluruh kurikulum. Kedua, kesukaran membedakan di antara fase-fase pendidikan
dan lamanya belajar karena tidak ada masa tertentu yang mengikat murid-murid untuk belajar pada setiap lembaga pendidikan.a. Kurikulum Pendidikan Rendah
Terdapat kesukaran ketika ingin membatasi mata pelajaran-mata pelajaran yang membentuk kurikulum untuk semua tingkat pendidikan yang bermacam-macam. Pertama, karena tidak adanya kurikulum yang terbatas, baik untuk tingkat rendah maupun tingkat penghabisan, kecuali Al-qur’an yang terdapat pada seluruh kurikulum. Kedua, kesukaran membedakan di antara fase-fase pendidikan
Sebelum berdirinya madrasah, tidak ada tingkatan dalam pendidikan Islam, tetapi hanya satu tingkat yang bermula di kuttab dan berakhir di diskusi halaqah. Tidak ada kurikulum khusus yang diikuti oleh seluruh umat Islam. Di lembaga kuttab biasanya diajarkan membaca dan menulis, di samping Al-qur’an. Kadang diajarkan bahasa, nahwu dan arudh.[16]
Terdapat contoh gambaran dari kurikulum tingkat ini. Al-Mufaddal bin Yazid bercerita bahwa suatu hari ia melihat anak laki-laki dari seorang perempuan Baduwi. Karena tertarik pada anak itu lalu ia bertanya pada sang ibu. Sang ibu menjawab sebagai berikut, “apabila berumur lima tahun, saya akan menyerahkan pada seorang muaddib (guru) agar ia mengajari menghafal dan membaca alqur’an. Dengan demikian ia suka akan kebanggaan bangsanya dan ia kan mencari peninggalan nenek moyangnya; apabila dewasa, saya akan mengajarinya cara menunggang kuda sehingga ia terlatih dengan baik, lalu ia naik kuda sambil memanggul senjata. Kemudian ia akan mondar mandir di lorong-lorong kampungnya untuk mendengarkan suara orang-orang yang akan meminta bantuan.”[17]
Sedangkan kurikulum yang ditawarkan oleh Ibnu Sina untuk tingkat ini adalah mengajari Alqur’an, karena anak-anak dari segi fisik dan mental, telah siap menerima pendiktean, dan pada waktu yang sama diajarkan juga huruf hijaiyah dan dasar agama kemudian syair berikut artinya. Setelah anak-anak belajar Alqur’an dan dasar agama, kemudian diarahkan untuk mempelajari sesuatu yang sesuai dengan kecenderungannya.
Namun demikian, ada perbedaan antara kuttab-kuttab yang diperuntukkan bagi masyarakat umum dengan yang ada di istana. Di istana, orang tua (para pembesar istana) adalah yang membuat rencana pelajaran tersebut sesuai dengan anaknya dan tujuan yang dikehendakinya. Rencana pelajaran untuk pendidikan istana ialah pidato, sejarah, peperangan-peperangan, cara bergaul dengan masyarakat di samping pengetahuan pokok, seperti Al-qur’an, syair dan bahasa.[18]
Harun Al-Rasyid telah memajukan pelajaran bagi putranya (Al-Amin) dengan mengatakan sebagai berikut :
“Hai Ahmar! Sesungguhnya Amirul Mu’minin telah memberikan kepadamu buah hatinya, maka bentangkanlah tanganmu kepadanya dan ketaatan kepadamu adalah suatu kewajiban. Maka janganlah kamu merasa sungkan dan hendaknya kamu tetap dalam posisimu sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Amirul Mu’minin. Bacakanlah kepadanya Al-Quran, ceritakanlah kepadanya peristiwa-peristiwa, riwayatkanlah kepadanya syair-syair, ajarkanlah kepadanya Sunnah Sunnah Nabi Muhammad Saw. Tunjukkanlah kepadanya bagaimana menyusun perkataan dan cara memulainya. Laranglah ia tertawa kecuali pada wakktunya………….”[19]
Kurikulum pada tingkat ini bervariasi tergantung pada tingkat kebutuhan masyarakat. Karena sebuah kurikulum dibuat tidak akan pernah lepas dari faktor sosiologis, politis ekonomis masyarakat yang melingkupinya. Di lembaga pendidikan masyarakat umum, orang tua kurang mempunyai peran dalam penyusunan kurikulum karena anak belajar suatu mata pelajaran tergantung pada guru yang tersedia. Berbeda dengan yang ada di istana, dimana anak memang diarahkan untuk menjadi pemimpin yang akan menggantikan bapak-bapak mereka, di lembaga pendidikan ini rencana pelajaran disusun oleh orang tua mereka.
Kurikulum pada tingkat ini tidak dipersiapkan untuk menuju pendidikan yang lebih tinggi. Ada jurang lebar yang memisah kedua lembaga tersebut sehingga orang yang ingin belajar setelah tingkat dasar dalam masalah sastra, kajian keagamaan, hukum dan filsafat, harus menempuh jalur sendiri dan meminta secara pribadi untuk bergabung dengan halaqah milik seorang syaikh.
b. Kurikulum Pendidikan Tinggi
Kurikulum pendidikan tinggi, halaqah —kalau mau menyebut demikian— bervariasi tergantung pada syaikh yang mau mengajar. Para mahasiswa tidak terikat untuk mempelajari mata pelajaran tertentu, demikian juga guru tidak mewajibkan kepada mahasiswa untuk mengikuti kurikulum tertentu. Mahasiswa bebas mengikuti pelajaran di sebuah halaqah dan berpindah dari sebuah halaqah ke halaqah yang lain, bahkan dari satu kota ke kota lain.
Menurut Fazlur Rahman, pendidikan jenis ini disebut pendidikan orang dewasa, karena diberikan kepada orang banyak yang tujuan utamanya adalah untuk mengajarkan mereka mengenai Al-Qur’an dan agama.[20] Kurikulum pada pendidikan tingkat ini dibagi kepada dua jurusan, pertama jurusan ilmu-ilmu agama (al-‘ulum al-naqliyah) dan kedua jurusan ilmu pengetahuan (al-‘ulum al-aqliyah).
Kedua macam kurikulum ini sejalan dengan dua masa transisi penting dalam perkembangan pemikiran Islam. Kurikulum pertama sejalan dengan fase di mana dunia Islam mempersiapkan diri untuk mendalami masalah agama, menyiarkan dan mempertahankannya. Namun perhatian pada agama itu tidaklah terbatas pada ilmu agama semata, akan tetapi dilengkapi juga dengan ilmu-ilmu bahasa, ilmu sejarah, ilmu hadist dan tafsir. Menurut Mahmud Yunus, kurikulum jurusan ini adalah tafsir al-Qur’an, hadist, fiqih, ushul fiqih, nahwu sharaf, balaghah, bahasa dan sastranya.[21]
Al-Khuwarazmi (Yusuf Al-Katib, 976) dalam bukunya, Mafatih al-Ulum meringkas kurikulum agama sebagai berikut: ilmu fiqih, ilmu nahwu, ilmu kalam, ilmu kitabah (sekretaris),dan ilmu ‘arudh. Ilmu sejarah (terutama sejarah Persia, sejarah Islam, sejarah sebelum Islam, sejarah Yunani dan Romawi).[22] Di samping itu, diajarkan juga matematika dasar, karena banyak digunakan untuk ilmu faraid dan pembuatan taqwim (mencocokkan tahun Hijriyah dengan tahun Masehi). Adapun yang ditulis dalam risalah Ikhwan al-Shafa, kurikulum untuk jurusan ini adalah ilmu al-Qur’an, tafsir, hadist, fiqih, zikir, zuhud, tasawuf, dan syahadah.[23]
Sedangkan Al-Farabi memasukkan studi keagamaan di bawah metafisika dan ilmu kemasyarakatan. Karena, menurutnya, kesempurnaan manusia, bisa dicapai kalau manusia dapat memiliki jenis pengetahuan tertentu dan manusia hidup dalam jenis kehidupan tertentu pula. Ia merasa pengetahuan yang dibawa agama “tidak mencukupi”.[24] Maka tidak heran jika di dalam karyanya, Ihsaal Ulum (Enumeration of The Sciences) yang di Barat dikenal dengan dengan Scientist, dia tidak memasukkan studi keagamaan dalam klasifikasi pengetahuannya.
Kurikulum kedua, yaitu kurikulum ilmu pengetahuan. Ia merupakan ciri khas pada fase kedua perkembangan pada pemikiran umat Islam, yaitu ketika umat Islam mulai bersentuhan dengan pemikiran Yunani, Persia dan India. Menurut Mahmud Yunus, kurikulum untuk pendidikan jenis ini adalah mantiq, ilmu alam dan kimia, ilmu musik, ilmu-ilmu pasti, ilmu-ilmu ukur, ilmu-ilmu falak, ilmu ketuhanan, ilmu hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan dan kedokteran.[25]
Ikhwan Al-Shafa mengklasifikasikan ilmu-ilmu umum kepada:
1) Disiplin-disiplin Umum, antara lain: baca-tulis, arti kata dan gramatika, ilmu hitung, sastra (sajak dan puisi), ilmu tentang tanda-tanda dan isyarat, ilmu sihir dan jimat, kimia, sulap, dagang, dan ketrampilan tangan, jual beli, komersial, pertanian, dan peternakan, serta biografi dan kisah.
2) Ilmu-ilmu Filosofis, antara lain: mate-matika, logika, ilmu angka-angka, geometri, astronomi, musik, aritmatika, dan hukum-hukum geometri, ilmu-ilmu alam dan antropologi zat, bentuk, ruang, waktu dan gerakan kosmologi produksi, peleburan, dan elemen-elemen metereologi dan minerologi, esensi alam dan manifestasinya, botani, zoology; anatomi dan antropologi, persepsi inderawi, embriologi, manusia sebagai mikrokosmos, perkembangan jiwa (evolusi psikologis), tubuh dan jiwa, perbedaan bahasa-bahasa (filologi), psikologi dan teologi doktrin esoteris Islam, susunan dan spiritual; serta ilmu-ilmu alam ghaib.[26]
Sedangkan klasifikasi yang diperkenalkan oleh Al-Farabi adalah:
1) Ilmu bahasa (sintaksis, tata bahasa, pengucapan, cara bicara, puisi).
2) Logika (pembagian, definisi dan komposisi pikiran secara sederhana).
3) Ilmu propaedeutic (ilmu hitung, ilmu ukur, ilmu optik, ilmu tentang cakrawala, ilmu musik, ilmu gaya berat, ilmu membuat alat).
4) Fisika (ilmu alam, metafisika).
5) Ilmu kemasyarakatan (yurisprudensi, retorika).[27]
Adapun yang ditulis dalam Mafatih al-Ulum, yaitu logika, ilmu kedokteran anatomi, patologi, bahan obat, terapetik, diet, berat dan takaran, aritmatika, geometri, astronomi, musik, dan kimia.[28]
Masuknya ilmu-ilmu asing —yang notabene berasal dari tradisi Hellenistik—, ke dalam kurikulum pendidikan Islam bukan merupakan bagian dari pendidikan yang ditawarkan di masjid atau madrasah, tetapi dilakukan di halaqah-halaqah pribadi atau juga di perpustakaan-perpustakaan, seperti Dar al-Hikmah dan Bait al-Hikmah. Syalabi menggambarkan bagaimana giatnya umat Islam mengadakan penelitian, penerjemahan, diskusi dalam berbagai aspek di kedua lembaga tersebut.[29]
2. Kurikulum Pendidikan Islam Setelah Berdirinya Madrasah
Pada zaman keemasan Islam, aktivitas-aktivitas kebudayaan pendidikan Islam tidak mengizinkan teologi dan dogma membatasi ilmu pengetahuan mereka. Mereka menyelidiki setiap cabang ilmu pengetahuan manusia, baik fisiologi, sejarah, historiografi, hukum, sosiologi, kesusastraan, etika, filsafat, teologi, kedokteran, mate-matika, logika, jurisprudensi, seni, arsitektur, atau ilmu keramik.
Sejalan dengan perkembangan zaman dan tingkat kebutuhan, mendirikan madrasah adalah dianggap sesuatu yang signifikan. Pendirian lembaga pendidikan tinggi Islam ini di bawah patronase wazir Nizam Al-Mulk (1064 M).[30] Biasanya sebuah madrasah dibangun untuk seorang ahli fiqih yang termasyhur dalam suatu mazhab empat. Nuruddin Mahmud bin Zanki misalnya, beliau telah mendirikan beberapa madrasah untuk mazhab Hanafi dan Syafi’I di Damaskus dan Halab. Beliau juga membangun sebuah madrasah untuk mazhab ini di kota Mesir.
Di satu sisi, berdirinya madrasah merupakan sumbangan Islam bagi peradaban sesudahnya. Akan tetapi, disisi lain hal ini membawa dampak yang buruk bagi dunia pendidikan setelah hegemoni negara yang terlalu kuat terhadap madrasah. Akibatnya kurikulum madrasah ini dibatasi hanya pada wilayah hukum (fiqih) dan teologi. Legitiumasi “makruh” terhadap penggunaan nalar setelah runtuhnya Mu’tazilah, ilmu-ilmu profan yang sangat dicurigai dihapus dari kurikulum madrasah. Hal ini menyebabkan mereka yang punya minat tinggi terhadap ilmu-ilmu ini terpaksa belajar secara otodidak. Karenanya ilmu-ilmu profan banyak berkembang di lembaga-lembaga non formal.
Satu pertanyaan yang dapat kita kembangkan, bahwa kenapa legalisme fiqih atau syariat terlalu dominan terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam? Menurut Fazlur Rahman, ada pandangan yang terus menerus diungkap, yaitu karena ilmu itu luas dan hidup ini singkat, maka orang harus memeberikan prioritas, dan prioritas itu dengan sendirinya diberikan pada sains-sains agama yang membawa kejayaan di akhirat.[31]
Sedangkan menurut Azyumardi, karena memang lembaga-lembaga ini dikuasai oleh mereka yang ahli agama, dan tidak kalah pentingnya adalah tidak otonomnya madrasah dari tanah waqaf yang diberikan oleh para dermawan dan penguasa politik. Motivasi kesalehan mendorong para dermawan untuk mengarahkan madrasah bergerak dalam bidang ilmu-ilmu agama karena di anggap mendatangkan pahala. Di pihak lain, para penguasa politik pemrakarsa pendirian madrasah, —apakah karena didorong oleh motivasi politik atau motivasi murni untuk menegakkan “ortodoksi” Sunni—, sering mendikte madrasah untuk tetap berada dalam kerangka “ortodoksi itu sendiri”.[32]
Namun, bagi penulis hal itu adalah salah satu realitas dalam perjalanan sejarah pendidikan Islam. Bukan maksud penulis mencurigai madrasah sebagai “kambing hitam” bagi kemunduran ini, walaupun tentu saja ia mempercepat dan melestarikan stagnasi tersebut. Sebab, sebenarnya penurunan kualitas lmu pengetahuan Islam adalah kekeringan gradual dari ilmu-ilmu keagamaan karena pengucilannya dari kehidupan intelektualisme awam yang kemudian juga mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar